Diposting oleh
shofa firdaus
komentar (2)
“Apa sih syarat utama bagi seorang penulis profesional?”, kata Tejo suatu hari di sebuah kesempatan di pertengahan bulan Maret kepada Karmin, sahabatnya yang juga seorang penulis jempolan. Karmin menghela napas, agak panjang. Matanya sayu memandang Tejo lekat-lekat, dengan pandangan yang berat. Seolah-olah Tejo telah menanyakan sebuah rahasia besar yang selama ini dia simpan dalam-dalam dan tak ingin ia ungkapkan pada siapapun. Tak seorang pun boleh tahu.
Karmin memegang pundak Bejo. Tapi ia tak segera menjawabnya. Bejo yang melihat sinar mata Karmin yang tenang, tapi menguliti, jadi serba salah. Ia ditumbuk sesal, mengapa telah sebegitu lancang melontarkan pertanyaan itu pada Karmin, sobat kentalya sejak SMA. Sebelum terjadi sesuatu yang tak mengenakkan, buru-buru Bejo mencabut pertanyaannya.
“Ehm, maaf kawan. Aku telah berkata lancang. Sebaiknya,… epf!” mulut Bejo tiba-tiba dibekap oleh Karmin sebelum ia selesai bicara.
“Tidak kawan. Kamu tidak lancang. Kamu harus tahu rahasia ini. Kamu adalah sahabatku. Tak boleh ada dusta di antara kita,” ucap Karmin dengan sentimentil yang fasih. Lanjutnya,”Tapi, kamu harus berjanji. Janji pada dirimu sendiri. Setelah kau tahu rahasianya, kau harus mempraktekannya. Buktikan, bahwa kamu juga akan menjadi penulis hebat sepertiku. Maukah kau lakukan itu kawan?”
Bejo tak bisa mengucap. Dadanya terlalu sesak diliputi haru. Ia hanya sanggup mengangguk sekali saja. Sebuah anggukan yang mantap. Matanya sampai hendak berkaca-kaca. Tapi raut mukanya menyiratkan, betapa ia tak sabar sesegera mungkin mendengar rahasia besar perihal: Apa sebenarnya syarat menjadi penulis jempolan itu?
“Sekarang dengar baik-baik. Ada dua syarat utama yang harus dimiliki seorang yang hendak menjadi penulis jempolan. Dengar baik-baik kawan. Pantang aku menyebutnya dua kali. Dan ini hanya ku kasih tahu padamu seorang. Cuma kamu. Karena kamulah sahabat terbaikku. Apakah kau benar-benar sudah siap?” Karmin memastikannya sekali lagi.
Lagi-lagi bejo tak bisa mengucap apa-apa. Bahkan untuk sekedar bilang, “Ya!”, ia tak mampu. Maka ia cuma mengangguk. Tapi kali ini dua kali. Demi menunjukkan, bahwa ia sungguh ingin jadi penulis yahud. Seperti Karmin.
“Syarat itu adalah…”Karmin memejamkan matanya. Berat sekali. Bejo semakin terharu dalam.
“Sebelum jadi penulis, ada dua hal yang harus kamu kuasai. Ini wajib. Tak ada tawar menawar. Karena inilah syarat utama jadi seorang penulis top. Jika kau tak menguasai ketrampilan ini, ku sarankan agar kau mengubur dalam-dalam keinginanmu menjadi seorang penulis, begitu kau tahu apa syarat itu. Kau siap?” tangan Karmin mencengkeram erat pundak Bejo, hingga tubuh Bejo agak terguncang. Bejo keder juga.
Tapi apa kata, terlanjur jauh. Ia tak ingin mundur. Ia masih tak sanggup menjawab. Dirangkulnya Karmin kencang-kencang.
Setelah Bejo melepas rangkulannya, Karmin melanjutkan, “Syarat yang harus kau miliki untuk menjadi seorang penulis yang ahli adalah kau HARUS bisa MEMBACA dan MENULIS! Tak ada pilihan lain!”
“Gubrak..!!”. Tubuh Bejo terjerembab ke belakang.
***
Cerita dia atas hanyalah fiktif belaka. Walau nama “Bejo” dan “Karmin” di dunia ini benar-benar ada, tapi kejadian dan peristiwa di atas cuma rekayasa.
Tapi memang, menurut saya yang menjadi syarat utama agar bisa jadi penulis ahli adalah bisa membaca dan menulis. Tak lebih. Mengenai teori menulis, itu cuma sekedar syarat pendukung. Bisa menyusul belakangan.
Karena bisa membaca dan menulis merupakan hal pokok yang harus ada dari seorang penulis. Apa jadinya calon penulis penulis buta huruf? Tidak lucu bukan?! Lebih tidak lucu lagi kalau tidak bisa menulis. Bagaimana dia punya keinginan jadi seorang penulis?
Semudah itu kah? Ya. Kenapa tidak. Banyak penulis yang mahir menulis tak pernah sekolah khusus tentang kepenulisan. Tak jarang pula seorang penulis novel tak yakin bisa menulis novel. Tapi buktinya mereka bisa. Karena mereka rajin baca, dan pastinya giat menulis.
Ada baiknya mempelajari teknik. Tapi akan jauh lebih baik kalau banyak praktik. Sering-seringlah membaca tulisan yang ingin anda kuasai. Jika anda ingin menjadi motivator, banyak baca buku motivasi. Jika anda ingin menjadi penulis novel, banyak baca novel. setelah itu, coba menulislah. Silakan meniru tulisan mereka. Lho, bukannya itu plagiat? Tentu kalau anda menulis sama persis, lalu mengakuinya sebagai tulisan anda, itu baru namanya plagiat. Yang saya maksud meniru adalah gaya bahasanya saja. Ini tak jadi soal. Hilman “Lupus” Hariwijaya bahkan mengakui sendiri kalau dulu gaya tulisannya meniru Arswendo Atmowiloto (bosnya di majalah Hai), sebelum ia menemukan gaya bahasanya sendiri.
Jadi intinya, modal penting jika ingin jadi penulis handal adalah mengumpulkan ide (dengan banyak membaca), lalu menuangkannya menjadi tulisan (dengan praktek menulis). Kalau tetap tak bisa jadi penulis hebat? Ya, setidaknya anda takkan menjadi seorang penghayal. Dengan menuangkan pikiran ke dalam huruf-huruf, otak jadi lumayan enteng tak lagi penuh sesak oleh khayalan yang negatif.
Semoga menginspirasi. SELAMAT MENULIS!!
:D