(sumber gambar:http://frantau.files.wordpress.com)
“Kenapa sih kamu ngebet banget pingin jadi penulis?” lagi-lagi pertanyaan seperti itu menghampiri saya. Sudah beberapa kali sebenarnya saya ditanyai teman, dengan pertanyaan serupa. Kalimatnya sih tidak sama persis, tapi intinya ya tentang itu.
Mereka tanya, mengapa kok saya merawat obsesi “tidak wajar”, jadi seorang penulis (setidaknya penulis masih jadi profesi langka dan asing di desa saya). Padahal, profesi yang lagi in di kalangan pemuda jaman sekarang kan jadi PNS, bahkan yang lebih “ekstrem”, jadi artis.
Profesi pertama dipilih karena relatif aman. Gaji tetap dibayar full walau ,mungkin, sering absen. Yang berprestasi atau yang cuma masuk sekedar ngisi presensi, gajinya imbang. Dan pastinya, sudah nggak kerja pun masih dibayar! Alias nrima pensiunan.
Profesi kedua dipilih karena akhir-akhir ini, mayoritas remaja kita punya bakat yang sama, yaitu narsis. Jadi artis merupakan jenis pekerjaan yang tepat untuk menyalurkan bakat. Lalu kalau penulis? Bah, apa pula itu?!
Baiklah, ini alasan saya mengapa getol banget pingin jadi penulis.
1. Saya hobi baca, otomatis suka nulis.
Seperti yang pernah saya ungkapkan dalam posting sebelumnya, bahwa saya telah kecanduan membaca. Membaca bukan lagi menjadi hobi, tapi kebutuhan. Seperti juga kebutuhan makan dan minum. Maka kebutuhan menulis menjadi efek samping yang otomatis menjangkiti saya, setelah kebutuhan membaca.
2.Senang rasanya bisa menyentuh hati orang lain dengan pikiran kita, melalui tulisan.
Saya teringat akan novel Laskar Pelangi yang sempat membuat seorang remaja di Bandung “tobat” gara-gara tersentuh hatinya setelah membaca karya Endrea Hirata itu. Nah, saya juga ingin seperti Andrea yang bisa menyentuh hati orang lain melalui tulisan. Hehe,..
3.Penulis, asal ditekuni juga bisa punya penghasilan lumayan dan relatif cepat.
Kenapa saya bilang lumayan? Karena penghasilan yang didapat dari jual tulisan tak bisa dibilang sedikit. Rowling, si pencipta tokoh fiktif Harry Potter yang kesohor itu bahkan bisa menjadi penulis terkaya di dunia dengan pengasilan $ 9 per detik! Tinggal mengalikan berapa pengasilannya sehari, sebulan, dan seterusnya.
Walaupun di Indonesia belum ada yang seperti itu, dan sangat mungkin masih kalah dibanding gaji seorang menteri, setidaknya masih cukup untuk hidup sedikit di atas pas-pasan di kota se-kecil Blitar, tempat tinggal saya.
Kenapa saya bilang relatif cepat? Kita tak perlu nunggu lulus sekolah atau kuliah jika mau menulis&dapat uang. Kalau niat, bisa saja cari ilmu sambil nyambi jadi penulis. Bandingkan dengan jenis usaha konvensional lainnya yang membutuhkan konsentrasi khusus, sehingga sulit untuk disambi mengerjakan aktifitas lain.
4.Jadi penulis tak butuh kekuatan otot, masa pensiun lebih lama.
Jelas sekali bahwa menulis tak begitu mengandalkan kekuatan otot. Pekerjaan ini sangat pas bagi orang-orang yang tak punya badan kekar, termasuk saya tentunya. Dan lagi, karena kekuatan otot bukan modal utama, masa pensiunnya pun lebih awet. Asal jari tangan masih bisa digerakkan, menulis masih bisa dilakukan. Rosihan anwar sudah membuktikannya. Walau usianya tak lagi muda, tapi tulisannya tak berkurang kualitasnya.
5.Pekerjaan menulis tak banyak menyita banyak waktu.
Dengan jadi penulis, saya masih punya banyak waktu untuk melakukan hobi lain; sms-an, baca buku, bercocok tanam, juga godain si hitam-putih_kucing kami satu-satunya_yang suka sewot kalau dicolek. Hehe,.
6.Penulis tidak terikat waktu.
Jadi penulis lepas, bebas dari kekangan waktu. Tak ada aturan harus mulai jam sekian& selesai sekian jam, tidak. Walaupun dengan disiplin hasilnya bisa lebih bagus, tapi itu bukan syarat mutlak.
7.Penulis tidak menggantungkan hidupnya pada ijazah, saingan lebih sedikit.
Saya tak ingin menyerahkan nasib pada ijazah, seperti mayoritas penduduk kita yang PDnya melesat ketika ijazah S1 dan seterusnya sudah digenggam. Seolah-olah itulah kunci kesuksesan hidupnya. Padahal ijazah bukan jaminan masa depan cemerlang. Nggak percaya? Buktinya, di negri ini ada ratusan ribu sarjana nganggur. Tercatat di tahun 2009 ada 900.000 lebih sarjana menganggur (sumber : www.menkokesra.go.id).
Dengan jadi penulis, nggak perlu pusing mikirin ijazah belum keluar. Atau bahkan tak punya ijazah tinggi. Gak pernah ada ceritanya penerbit tanya, “Anda lulusan mana?” atau “Anda lulusan apa?”. Asal tulisan bagus, pasti ditrima. Bahkan Ajip Rosidi, seorang penulis jempolan negri ini ternyata SMA saja tak lulus.
Dan lagi, jadi penulis saingannya relatif sedikit. Saya yakin, dalam satu sekolahan ketika ditanya cita-cita, pasti tak ada seperempatnya yang kepikiran jadi seorang penulis. Bahkan profesi penulis kalah ngetrend dibanding profesi idaman di desa saya(mungkin juga di lingkungan anda), yaitu jadi TKI ke negri ginseng/jepang&jadi seorang PNS! Setuju?
8.Jadi penulis juga tak terikat tempat.
Di manapun juga, kita tetep bisa kerja (nulis) asalkan otak masih meringkuk dalam tempurung kepala. Hehe,..
9.Penulis tak butuh banyak modal.
Menjadi penulis tak butuh modal besar, seperti jamak terjadi pada jenis usaha konvensional. Juga tak butuh ketrampilan handal. Modal utamanya adalah : cukup bisa baca dan menulis, ya sudah. Kalau butuh beli pulpen dan kertas, itu wajar. Namanya juga usaha..
10.Penulis tetap hidup, walau sudah jadi mayat.
Mohon jangan salah paham. Yang saya maksud adalah seorang penulis masih bisa dikenal orang lain melalui tulisannya, walaupun ia sudah meninggal. Masih bisa bercakap-cakap dengan pembaca tulisan kita. Jika tulisan kita bermanfaat, insyaAllah itu akan menjadi ladang amal yang takkan terputus memberi manfaat kepada penulisnya.
Nah itulah alasan kenapa saya masih saja terobsesi menjadikan penulis sebagai profesi idaman. Dan ngeblog seperti ini, menjadi sarana untuk mengasah kemampuan. Bagaimana dengan anda? Apakah ada yang ingin menyanggah atau malah ingin menambahi?
Diposting oleh
shofa firdaus
3 komentar:
Cerdas™
Mari menulis untuk bisa hidup selamanya ;)
selama hidup, kita terus nulis!
:D
menulis jadi kebutuhan sehari-hari :')
Posting Komentar