Diposting oleh
shofa firdaus
komentar (3)
"Jadi sukses itu mudah. Tak sesulit yang pernah anda pikirkan. Tapi dengan syarat, anda harus rela mengijinkan kesuksesan menghampiri anda“.
Begitulah salah satu point yang saya tangkap dari pemikiran Erbe Sentanu dalam bukunya : Quantum Ikhlas. Sukses ataupun gagal, bukan semata ditentukan oleh usaha manusia, apalagi kehendak takdir. Itu kurang tepat! Kesuksesan adalah pilihan manusia itu sendiri. Apakah ia rela untuk benar-benar sukses, atau ia malah ragu dan eggan kesuksesan menghampirinya. Anda bingung? Awalnya saya juga begitu. Oke, mari kita gunakan contoh saja. Biar lebih mudah dipahami.
Pernahkah anda melihat orang yang kaya-nya sampai naudzubillah? Orang yang terlihat semakin hari semakin bertambah kekayaannya. Umumnya, orang-orang seperti mereka itu suatu ketika pasti pernah mengalami kegagalan dalam usaha. Namun mereka berhasil bangkit dan kembali meraih kekayaan mereka lagi. Sepertinya, keberuntungan tak mau jauh-jauh dari orang kaya.
Lalu sebaliknya, pernahkah anda melihat seorang yang dari dulu hidupnya seperti tak pernah lepas dari kemlaratan? Kelihatannya, dari dulu tak pernah ada peningkatan. Padahal, ia nampak bekerja sangat keras. Tapi seolah-olah, ia sudah di-plot Tuhan sebagai hambaNya yang miskin. Benarkah itu semua terjadi semata karena takdir?
Jawabannya bisa ya, bisa tidak. Takdir, jika itu memang sudah terjadi. Tapi itu juga bukan semata kehendak takdir, karena_kalau mau_itu bisa dirubah.
Quantum Ikhlas menjelaskan, bahwa pikiran dan (terutama) perasaan manusia secara kuat dan otomatis, menarik segala bentuk energi yang ada di alam semesta. Seperti magnet. Bedanya, kalau magnet menarik yang berlawanan kutub, pikiran dan perasaan menarik energi yang sejenis. Positif menarik positif, negatif menarik negatif. Sekali lagi, semua itu terjadi secara otomatis! Suka tidak suka. Inilah yang kemudian disebut sebagai Hukum Tarik-Menarik yang berlaku di alam.
Dari sini bisa dipahami mengenai istilah :"Orang kaya semakin kaya. Orang miskin semakin miskin”.
“Orang kaya semakin kaya”, karena pikiran mereka selalu dipenuhi oleh semua kekayaan yang mereka miliki. Apalagi jika hatinya pandai bersyukur, maka kekayaan akan semakin deras mengerubunginya. Otomatis.
Demikian juga dengan fenomena, “Orang miskin yang semakin miskin”. Semakin keras ia bekerja, tapi jika pikirannya selalu penuh dengan segala hal yang tidak ia punyai, maka semakin miskin lah yang ia dapatkan. Terlebih bila perasaannya selalu diliputi keluhan dan Ia begitu rajin menkomplain Tuhan. Sesuai hukum Tarik Menarik, maka kemiskinan lah yang semakin erat mengakrabinya. Karena energi dari pikiran dan perasaan yang ia lepaskan ke alam berupa energi negatif. Sebab Tuhan lebih mengabulkan apa yang dipikirkan dan dirasakan seseorang, bukan yang ia ucapkan atau kerjakan.
Ingat, Hukum Tarik Menarik terjadi secara otomatis. Alam tak kan pernah menanyai anda terlebih dulu, apakah anda suka dengan yang akan menimpa anda. Tapi alam memberi apa yang anda minta melalui pikiran dan (terutama) perasaan anda. Seperti kerja gravitasi. Ketika anda melepaskan gelas dalam genggaman, gelas pasti jatuh dan pecah. Terlepas dari apakah anda suka atau tidak suka. Karena itu terjadi otomatis! Walau gravitasi tak terdeteksi panca indra, tapi ia ada dan bereaksi di alam.
Buku Quantum Ikhlas tidak hanya menyingkap rahasia Hukum Tarik Menarik yang ada di alam. Di sini juga dibahas, bahwa pikiran berdasarkan aspek kesadarannya dibagi menjadi dua bagian : sadar dan bawah sadar.
Pikiran sadar yang dimaksud adalah ketika seseorang sedang berpikir menggunakan otaknya. Padahal kekuatan otak ini hanya mengusai 12% dari keseluruhan kekuatan pikiran manusia. Lha yang 88% ke mana? Kekuatan mayoritas pikiran manusia merupakan kekuatan bawah sadar yang secara umum hanya muncul dalam bentuk perasaan. Dengan kata lain, perasaan jauh lebih bertenaga dalam menarik segala energi dibanding pikiran manusia.
Erbe Sentanu begitu cerdas menuntun pembacanya pada realitas yang selama ini mungkin telah disalahpahami oleh banyak orang. Hebatnya, ia tak hanya bicara mengenai pembahasan yang abstrak, tapi juga menyertakan contoh-contoh kongkrit yang bisa dibuktikan secara empirik, melalui penelitian-penelitian para ahli Ilmu Alam. Bagi yang alergi dengan buku-buku dengan bahasa menasehati atau justru anti dengan buku yang bahasanya terlalu teknis, Quantum Ikhlas adalah pilihan tepat. Karena fakta-fakta ilmu pengetahuan alam yang digunakan sebagi pendukung pemikirannya begitu kredibel dan lumayan komplit. Selaras dengan ajakannya untuk memahami kembali fitrah manusia yang diciptakan Tuhan.
Bagi anda yang ingin tahu lebih banyak rahasia sukses dunia-akhirat, silakan cari di buku ini. Dijamin anda akan sering-sering berpikir, “Oww..ternyata gitu to..”.
Nah, apakah anda bingung dengan penjelasan saya? Penasaran? Atau malah sudah membaca dan memahaminya? Saya tunggu komentarnya..
Diposting oleh
shofa firdaus
komentar (3)
(sumber gambar:http://frantau.files.wordpress.com)
“Kenapa sih kamu ngebet banget pingin jadi penulis?” lagi-lagi pertanyaan seperti itu menghampiri saya. Sudah beberapa kali sebenarnya saya ditanyai teman, dengan pertanyaan serupa. Kalimatnya sih tidak sama persis, tapi intinya ya tentang itu.
Mereka tanya, mengapa kok saya merawat obsesi “tidak wajar”, jadi seorang penulis (setidaknya penulis masih jadi profesi langka dan asing di desa saya). Padahal, profesi yang lagi in di kalangan pemuda jaman sekarang kan jadi PNS, bahkan yang lebih “ekstrem”, jadi artis.
Profesi pertama dipilih karena relatif aman. Gaji tetap dibayar full walau ,mungkin, sering absen. Yang berprestasi atau yang cuma masuk sekedar ngisi presensi, gajinya imbang. Dan pastinya, sudah nggak kerja pun masih dibayar! Alias nrima pensiunan.
Profesi kedua dipilih karena akhir-akhir ini, mayoritas remaja kita punya bakat yang sama, yaitu narsis. Jadi artis merupakan jenis pekerjaan yang tepat untuk menyalurkan bakat. Lalu kalau penulis? Bah, apa pula itu?!
Baiklah, ini alasan saya mengapa getol banget pingin jadi penulis.
1. Saya hobi baca, otomatis suka nulis.
Seperti yang pernah saya ungkapkan dalam posting sebelumnya, bahwa saya telah kecanduan membaca. Membaca bukan lagi menjadi hobi, tapi kebutuhan. Seperti juga kebutuhan makan dan minum. Maka kebutuhan menulis menjadi efek samping yang otomatis menjangkiti saya, setelah kebutuhan membaca.
2.Senang rasanya bisa menyentuh hati orang lain dengan pikiran kita, melalui tulisan.
Saya teringat akan novel Laskar Pelangi yang sempat membuat seorang remaja di Bandung “tobat” gara-gara tersentuh hatinya setelah membaca karya Endrea Hirata itu. Nah, saya juga ingin seperti Andrea yang bisa menyentuh hati orang lain melalui tulisan. Hehe,..
3.Penulis, asal ditekuni juga bisa punya penghasilan lumayan dan relatif cepat.
Kenapa saya bilang lumayan? Karena penghasilan yang didapat dari jual tulisan tak bisa dibilang sedikit. Rowling, si pencipta tokoh fiktif Harry Potter yang kesohor itu bahkan bisa menjadi penulis terkaya di dunia dengan pengasilan $ 9 per detik! Tinggal mengalikan berapa pengasilannya sehari, sebulan, dan seterusnya.
Walaupun di Indonesia belum ada yang seperti itu, dan sangat mungkin masih kalah dibanding gaji seorang menteri, setidaknya masih cukup untuk hidup sedikit di atas pas-pasan di kota se-kecil Blitar, tempat tinggal saya.
Kenapa saya bilang relatif cepat? Kita tak perlu nunggu lulus sekolah atau kuliah jika mau menulis&dapat uang. Kalau niat, bisa saja cari ilmu sambil nyambi jadi penulis. Bandingkan dengan jenis usaha konvensional lainnya yang membutuhkan konsentrasi khusus, sehingga sulit untuk disambi mengerjakan aktifitas lain.
4.Jadi penulis tak butuh kekuatan otot, masa pensiun lebih lama.
Jelas sekali bahwa menulis tak begitu mengandalkan kekuatan otot. Pekerjaan ini sangat pas bagi orang-orang yang tak punya badan kekar, termasuk saya tentunya. Dan lagi, karena kekuatan otot bukan modal utama, masa pensiunnya pun lebih awet. Asal jari tangan masih bisa digerakkan, menulis masih bisa dilakukan. Rosihan anwar sudah membuktikannya. Walau usianya tak lagi muda, tapi tulisannya tak berkurang kualitasnya.
5.Pekerjaan menulis tak banyak menyita banyak waktu.
Dengan jadi penulis, saya masih punya banyak waktu untuk melakukan hobi lain; sms-an, baca buku, bercocok tanam, juga godain si hitam-putih_kucing kami satu-satunya_yang suka sewot kalau dicolek. Hehe,.
6.Penulis tidak terikat waktu.
Jadi penulis lepas, bebas dari kekangan waktu. Tak ada aturan harus mulai jam sekian& selesai sekian jam, tidak. Walaupun dengan disiplin hasilnya bisa lebih bagus, tapi itu bukan syarat mutlak.
7.Penulis tidak menggantungkan hidupnya pada ijazah, saingan lebih sedikit.
Saya tak ingin menyerahkan nasib pada ijazah, seperti mayoritas penduduk kita yang PDnya melesat ketika ijazah S1 dan seterusnya sudah digenggam. Seolah-olah itulah kunci kesuksesan hidupnya. Padahal ijazah bukan jaminan masa depan cemerlang. Nggak percaya? Buktinya, di negri ini ada ratusan ribu sarjana nganggur. Tercatat di tahun 2009 ada 900.000 lebih sarjana menganggur (sumber : www.menkokesra.go.id).
Dengan jadi penulis, nggak perlu pusing mikirin ijazah belum keluar. Atau bahkan tak punya ijazah tinggi. Gak pernah ada ceritanya penerbit tanya, “Anda lulusan mana?” atau “Anda lulusan apa?”. Asal tulisan bagus, pasti ditrima. Bahkan Ajip Rosidi, seorang penulis jempolan negri ini ternyata SMA saja tak lulus.
Dan lagi, jadi penulis saingannya relatif sedikit. Saya yakin, dalam satu sekolahan ketika ditanya cita-cita, pasti tak ada seperempatnya yang kepikiran jadi seorang penulis. Bahkan profesi penulis kalah ngetrend dibanding profesi idaman di desa saya(mungkin juga di lingkungan anda), yaitu jadi TKI ke negri ginseng/jepang&jadi seorang PNS! Setuju?
8.Jadi penulis juga tak terikat tempat.
Di manapun juga, kita tetep bisa kerja (nulis) asalkan otak masih meringkuk dalam tempurung kepala. Hehe,..
9.Penulis tak butuh banyak modal.
Menjadi penulis tak butuh modal besar, seperti jamak terjadi pada jenis usaha konvensional. Juga tak butuh ketrampilan handal. Modal utamanya adalah : cukup bisa baca dan menulis, ya sudah. Kalau butuh beli pulpen dan kertas, itu wajar. Namanya juga usaha..
10.Penulis tetap hidup, walau sudah jadi mayat.
Mohon jangan salah paham. Yang saya maksud adalah seorang penulis masih bisa dikenal orang lain melalui tulisannya, walaupun ia sudah meninggal. Masih bisa bercakap-cakap dengan pembaca tulisan kita. Jika tulisan kita bermanfaat, insyaAllah itu akan menjadi ladang amal yang takkan terputus memberi manfaat kepada penulisnya.
Nah itulah alasan kenapa saya masih saja terobsesi menjadikan penulis sebagai profesi idaman. Dan ngeblog seperti ini, menjadi sarana untuk mengasah kemampuan. Bagaimana dengan anda? Apakah ada yang ingin menyanggah atau malah ingin menambahi?
“Kenapa sih kamu ngebet banget pingin jadi penulis?” lagi-lagi pertanyaan seperti itu menghampiri saya. Sudah beberapa kali sebenarnya saya ditanyai teman, dengan pertanyaan serupa. Kalimatnya sih tidak sama persis, tapi intinya ya tentang itu.
Mereka tanya, mengapa kok saya merawat obsesi “tidak wajar”, jadi seorang penulis (setidaknya penulis masih jadi profesi langka dan asing di desa saya). Padahal, profesi yang lagi in di kalangan pemuda jaman sekarang kan jadi PNS, bahkan yang lebih “ekstrem”, jadi artis.
Profesi pertama dipilih karena relatif aman. Gaji tetap dibayar full walau ,mungkin, sering absen. Yang berprestasi atau yang cuma masuk sekedar ngisi presensi, gajinya imbang. Dan pastinya, sudah nggak kerja pun masih dibayar! Alias nrima pensiunan.
Profesi kedua dipilih karena akhir-akhir ini, mayoritas remaja kita punya bakat yang sama, yaitu narsis. Jadi artis merupakan jenis pekerjaan yang tepat untuk menyalurkan bakat. Lalu kalau penulis? Bah, apa pula itu?!
Baiklah, ini alasan saya mengapa getol banget pingin jadi penulis.
1. Saya hobi baca, otomatis suka nulis.
Seperti yang pernah saya ungkapkan dalam posting sebelumnya, bahwa saya telah kecanduan membaca. Membaca bukan lagi menjadi hobi, tapi kebutuhan. Seperti juga kebutuhan makan dan minum. Maka kebutuhan menulis menjadi efek samping yang otomatis menjangkiti saya, setelah kebutuhan membaca.
2.Senang rasanya bisa menyentuh hati orang lain dengan pikiran kita, melalui tulisan.
Saya teringat akan novel Laskar Pelangi yang sempat membuat seorang remaja di Bandung “tobat” gara-gara tersentuh hatinya setelah membaca karya Endrea Hirata itu. Nah, saya juga ingin seperti Andrea yang bisa menyentuh hati orang lain melalui tulisan. Hehe,..
3.Penulis, asal ditekuni juga bisa punya penghasilan lumayan dan relatif cepat.
Kenapa saya bilang lumayan? Karena penghasilan yang didapat dari jual tulisan tak bisa dibilang sedikit. Rowling, si pencipta tokoh fiktif Harry Potter yang kesohor itu bahkan bisa menjadi penulis terkaya di dunia dengan pengasilan $ 9 per detik! Tinggal mengalikan berapa pengasilannya sehari, sebulan, dan seterusnya.
Walaupun di Indonesia belum ada yang seperti itu, dan sangat mungkin masih kalah dibanding gaji seorang menteri, setidaknya masih cukup untuk hidup sedikit di atas pas-pasan di kota se-kecil Blitar, tempat tinggal saya.
Kenapa saya bilang relatif cepat? Kita tak perlu nunggu lulus sekolah atau kuliah jika mau menulis&dapat uang. Kalau niat, bisa saja cari ilmu sambil nyambi jadi penulis. Bandingkan dengan jenis usaha konvensional lainnya yang membutuhkan konsentrasi khusus, sehingga sulit untuk disambi mengerjakan aktifitas lain.
4.Jadi penulis tak butuh kekuatan otot, masa pensiun lebih lama.
Jelas sekali bahwa menulis tak begitu mengandalkan kekuatan otot. Pekerjaan ini sangat pas bagi orang-orang yang tak punya badan kekar, termasuk saya tentunya. Dan lagi, karena kekuatan otot bukan modal utama, masa pensiunnya pun lebih awet. Asal jari tangan masih bisa digerakkan, menulis masih bisa dilakukan. Rosihan anwar sudah membuktikannya. Walau usianya tak lagi muda, tapi tulisannya tak berkurang kualitasnya.
5.Pekerjaan menulis tak banyak menyita banyak waktu.
Dengan jadi penulis, saya masih punya banyak waktu untuk melakukan hobi lain; sms-an, baca buku, bercocok tanam, juga godain si hitam-putih_kucing kami satu-satunya_yang suka sewot kalau dicolek. Hehe,.
6.Penulis tidak terikat waktu.
Jadi penulis lepas, bebas dari kekangan waktu. Tak ada aturan harus mulai jam sekian& selesai sekian jam, tidak. Walaupun dengan disiplin hasilnya bisa lebih bagus, tapi itu bukan syarat mutlak.
7.Penulis tidak menggantungkan hidupnya pada ijazah, saingan lebih sedikit.
Saya tak ingin menyerahkan nasib pada ijazah, seperti mayoritas penduduk kita yang PDnya melesat ketika ijazah S1 dan seterusnya sudah digenggam. Seolah-olah itulah kunci kesuksesan hidupnya. Padahal ijazah bukan jaminan masa depan cemerlang. Nggak percaya? Buktinya, di negri ini ada ratusan ribu sarjana nganggur. Tercatat di tahun 2009 ada 900.000 lebih sarjana menganggur (sumber : www.menkokesra.go.id).
Dengan jadi penulis, nggak perlu pusing mikirin ijazah belum keluar. Atau bahkan tak punya ijazah tinggi. Gak pernah ada ceritanya penerbit tanya, “Anda lulusan mana?” atau “Anda lulusan apa?”. Asal tulisan bagus, pasti ditrima. Bahkan Ajip Rosidi, seorang penulis jempolan negri ini ternyata SMA saja tak lulus.
Dan lagi, jadi penulis saingannya relatif sedikit. Saya yakin, dalam satu sekolahan ketika ditanya cita-cita, pasti tak ada seperempatnya yang kepikiran jadi seorang penulis. Bahkan profesi penulis kalah ngetrend dibanding profesi idaman di desa saya(mungkin juga di lingkungan anda), yaitu jadi TKI ke negri ginseng/jepang&jadi seorang PNS! Setuju?
8.Jadi penulis juga tak terikat tempat.
Di manapun juga, kita tetep bisa kerja (nulis) asalkan otak masih meringkuk dalam tempurung kepala. Hehe,..
9.Penulis tak butuh banyak modal.
Menjadi penulis tak butuh modal besar, seperti jamak terjadi pada jenis usaha konvensional. Juga tak butuh ketrampilan handal. Modal utamanya adalah : cukup bisa baca dan menulis, ya sudah. Kalau butuh beli pulpen dan kertas, itu wajar. Namanya juga usaha..
10.Penulis tetap hidup, walau sudah jadi mayat.
Mohon jangan salah paham. Yang saya maksud adalah seorang penulis masih bisa dikenal orang lain melalui tulisannya, walaupun ia sudah meninggal. Masih bisa bercakap-cakap dengan pembaca tulisan kita. Jika tulisan kita bermanfaat, insyaAllah itu akan menjadi ladang amal yang takkan terputus memberi manfaat kepada penulisnya.
Nah itulah alasan kenapa saya masih saja terobsesi menjadikan penulis sebagai profesi idaman. Dan ngeblog seperti ini, menjadi sarana untuk mengasah kemampuan. Bagaimana dengan anda? Apakah ada yang ingin menyanggah atau malah ingin menambahi?