Diposting oleh
shofa firdaus
komentar (7)
Alhamdulillah..! Plong rasanya ketika naskah cerpen saya selesai, masuk amplop, dan diterima Pak Pos. Naskah itu sedianya saya kirim ke redaksi Jawa Pos. Perkara dimuat atau belum, itu urusan belakang. Saya (hampir) tak pernah memikirkannya. Yang penting ngirim.
Namun setibanya di rumah, saya kepikiran juga ketika Pak Pos menerima naskah saya tadi. Bukan karena saya terpesona dengan wajah ramah Pak Tukang Pos (emangnya jeruk nyruput jeruk! Hwehehe,.). Tapi saya kepikiran, wah ternyata ongkos ngeposkan mahal juga ya. Apalagi untuk ukuran mahasiswa seperti saya. 15 ribu lo. Uang segitu bisa buat ongkos berangkat-pulang kuliah saya selama 3 hari. Itu pun kalau beli bensinnya di pom, masih ada sisa buat beli permen. Lumayan, dapat 15 biji! Dari 15 ribu itu pun belum termasuk beli amplop dan ngeprint.
Lha kalo cuma ngirim sebulan sekali sih tak terlalu masalah. Tapi kalo (misal) ngirimnya tiap minggu? Wah, bisa-bisa kuliah jalan kaki nih, karena jatah bensin cuma buat ngirim naskah. Itulah pikiran saya kemudian.
“Kenapa tidak dikirim lewat email saja? Bukankah sekarang eranya internet?!”. Nah saya dengar tadi anda bertanya begitu. Oke, terimakasih atas saran anda (Wuih, sok tau. :-p). Awalnya saya juga sempat kepikiran begitu. Namun entah kenapa_setelah tau info dari internet bahwa tidak semua media mau menerima naskah dalam bentuk email dan ada media yang sampai hari gini masih suka cara konvensional, yakni lewat pos_saya akhirnya memilih cara yang terakhir.
Nah, daripada saya bingung mikir lewat pos atau email, saya tanya langsung saja kepada media bersangkutan. Bagaimana mereka menetapkan kebijakan mengenai teknis penerimaan naskah cerpen. Berikut jawaban yang saya terima dari pertanyaan yang saya kirim lewat email.
Itulah jawaban dari beberapa media yang sempat saya kirimi pertanyaan via email tentang teknis penerimaan naskah cerpen. Saya mengirim pertanyaan kepada 7 media. Namun yang menjawab, ya cuma yang saya sebutkan di atas.
Bila ada yang tanya, kenapa tidak semua alamat media saya tulis lengkap? Memang itu saya sengaja biar lebih ringkas dan to the point. Juga kenapa ada yang saya tulis teknis penulisan cerpen secara lengkap, ada pula yang tidak? Bukan bermaksud merahasiakan dan sebagainya. Bukan. Tapi karena memang itulah jawan yang saya terima. Jadi itu pula yang saya sampaikan.
Nah, bagi anda yang suka nulis cerpen dan kebingungan mau ngirim, semoga apa yang saya sampaikan di atas bisa sedikit membantu.
Dan bagi anda yang ingin ngirim cerpen, namun alamat media yang anda maksud belum tercantum dalam ulasan di atas, saya mohon maaf. Karena masih itu yang bisa saya bagi. Saya sarankan anda bertanya langsung ke redaksi melalui telepon. Nomor telepon redaksi biasanya tertera di bagian bawah “susunan redaksi”. Dan alangkah mulianya bila anda mau membagikannya juga di sini.
Semoga terinspirasi. Selamat berkarya..
Namun setibanya di rumah, saya kepikiran juga ketika Pak Pos menerima naskah saya tadi. Bukan karena saya terpesona dengan wajah ramah Pak Tukang Pos (emangnya jeruk nyruput jeruk! Hwehehe,.). Tapi saya kepikiran, wah ternyata ongkos ngeposkan mahal juga ya. Apalagi untuk ukuran mahasiswa seperti saya. 15 ribu lo. Uang segitu bisa buat ongkos berangkat-pulang kuliah saya selama 3 hari. Itu pun kalau beli bensinnya di pom, masih ada sisa buat beli permen. Lumayan, dapat 15 biji! Dari 15 ribu itu pun belum termasuk beli amplop dan ngeprint.
Lha kalo cuma ngirim sebulan sekali sih tak terlalu masalah. Tapi kalo (misal) ngirimnya tiap minggu? Wah, bisa-bisa kuliah jalan kaki nih, karena jatah bensin cuma buat ngirim naskah. Itulah pikiran saya kemudian.
“Kenapa tidak dikirim lewat email saja? Bukankah sekarang eranya internet?!”. Nah saya dengar tadi anda bertanya begitu. Oke, terimakasih atas saran anda (Wuih, sok tau. :-p). Awalnya saya juga sempat kepikiran begitu. Namun entah kenapa_setelah tau info dari internet bahwa tidak semua media mau menerima naskah dalam bentuk email dan ada media yang sampai hari gini masih suka cara konvensional, yakni lewat pos_saya akhirnya memilih cara yang terakhir.
Nah, daripada saya bingung mikir lewat pos atau email, saya tanya langsung saja kepada media bersangkutan. Bagaimana mereka menetapkan kebijakan mengenai teknis penerimaan naskah cerpen. Berikut jawaban yang saya terima dari pertanyaan yang saya kirim lewat email.
- Suratkabar Kompas
Diketik di halaman kuarto. Spasi rangkap dengan ketentuan maksimal 12.000 karakter termasuk spasi.
Naskah bisa dikirim via pos, email, maupun fax.
Alamat pos : Jln. Palmerah Selatan, No. 26-28, Jakarta 10270.
Alamat email : opini@kompas.co.id
Fax : 5486085.
Proses seleksi naskah selama sekitar 2 minggu. Apabila dimuat, tidak ada pemberitahuan. Namun bila tidak dimuat, naskah akan dikembalikan melalui cara pengiriman. - Majalah Alia
Alia menerima naskah melalui email dengan alamat : majalah_alia@yahoo.com - Majalah Gadis
Gadis menerima kiriman naskah melalui email dengan alamat : reni.zahra@feminagroup.com. - Majalah Kartini
Panjang naskah 13.500 – 14.000 karakter. Tema cerita sesuai dengan majalah Kartini. Tidak mengandung pornografi dan SARA. Sertakan biodata ringkas, alamat, nomor telepon, serta nomor rekening.
Naskah bisa dikirim via email maupun pos.
Alamat email : redaksi_kartini@yahoo.com
Alamat pos : Jl. Garuda No. 80A, Kemayoran, Jakarta Pusat 10620.
Itulah jawaban dari beberapa media yang sempat saya kirimi pertanyaan via email tentang teknis penerimaan naskah cerpen. Saya mengirim pertanyaan kepada 7 media. Namun yang menjawab, ya cuma yang saya sebutkan di atas.
Bila ada yang tanya, kenapa tidak semua alamat media saya tulis lengkap? Memang itu saya sengaja biar lebih ringkas dan to the point. Juga kenapa ada yang saya tulis teknis penulisan cerpen secara lengkap, ada pula yang tidak? Bukan bermaksud merahasiakan dan sebagainya. Bukan. Tapi karena memang itulah jawan yang saya terima. Jadi itu pula yang saya sampaikan.
Nah, bagi anda yang suka nulis cerpen dan kebingungan mau ngirim, semoga apa yang saya sampaikan di atas bisa sedikit membantu.
Dan bagi anda yang ingin ngirim cerpen, namun alamat media yang anda maksud belum tercantum dalam ulasan di atas, saya mohon maaf. Karena masih itu yang bisa saya bagi. Saya sarankan anda bertanya langsung ke redaksi melalui telepon. Nomor telepon redaksi biasanya tertera di bagian bawah “susunan redaksi”. Dan alangkah mulianya bila anda mau membagikannya juga di sini.
Semoga terinspirasi. Selamat berkarya..
Diposting oleh
shofa firdaus
komentar (4)
Melanjutkan tulisan saya sebelumnya, bahwa setiap manusia (tanpa terkecuali) asal ada kemauan yang sugguh-sungguh, ia bisa meraih prestasi. Keterbatasan janganlah dijadikan penghambat untuk meraih kecermerlangan.
Saya sudah bercerita tentang Samsul Anwar yang bisa jadi pengusa tinju Asia, padahal tangan kanannya menderita kelumpuhan. Nah, kali ini saya akan bercerita lagi tentang seorang hebat lainnya. Ia juga seseorang yang dilahirkan dengan fisik tak sempurna. Namun ia bukan orang Indonesia, melainkan bangsa Jepang. Sebuah negeri yang sempat lumat digerus bom atom, tapi kini justru membombardir dunia dengan teknologinya.
Hirotada Ototake, nama orang itu. Lahir di Jepang 6 April 1976, Oto (begitu panggilan Ototake) dianugerahi fisik yang sedikit berbeda dengan orang kebanyakan. Ketika bayi, ia nyaris tak punya tangan dan kaki. Dalam istilah medis gejala tersebut disebut sebagai Tetramelia.
Akibat keadaan ini, dokter dan ayahnya menyembunyikan keberadaan Oto dari ibunya. Sang ayah khawatir, ibunya akan kecewa dengan keadaan fisik si jabang bayi yang kurang sempurna itu. Namun naluri kasih sayang seorang ibu tak menyurutkan niat untuk tetap melihat buah hati tercinta. Kekhawatiran sang ayah ternyata tak terbukti. Di luar dugaan, ketika dipertemukan dengan sang buah hati, tenyata justru sang ibu menerima Ototake dengan bahagia dan tulus. “Anakku, kamu sangat tampan,” itulah kata pertama yang diucapkan ibu ketika melihat anak tercintanya waktu itu.
Meski memiliki fisik tak sempurna, orang tua selalu memperlakukan Ototake seperti umumnya anak normal. Segala pekerjaan orang normal juga dikerjakan Oto (memakan dengan sendok atau garpu, menulis, menggunting kertas, juga berjalan tanpa kursi roda). Ia pun bersekolah di sekolah umum. Bukan sekolah khusus yang disediakan bagi anak cacat. Hal ini lah yang membuat Ototake tak kenal dengan kata “cacat”.
Ketika di sekolah, kedaan Oto yang berbeda dengan teman yang lain membuat Oto selalu menerima pertanyaan : “Kenapa, kenapa, kenapa?”. Namun dengan ringan Oto menjawab: “Aku sakit sewaktu masih di dalam perut ibuku. Jadi tangan dan kakiku tidak tumbuh”. Jawaban yang cukup bagi temannya. Oto pun bisa bermain bersama mereka.
Pertanyaan-pertanyaan serupa selalu diterima Oto selama 2 bulan penuh. Dan setiap itu pula Oto selalu menjawabnya tanpa beban. Hebatnya, Oto tak merasa dipandang aneh atas pertanyaan-pertanyaan itu. Dengan kursi rodanya, Oto justru merasa sebagai anak terpopuler di sekolah dan selalu dikelilingi teman-temannya. Hal ini lah yang secara perlahan menumbuhkan sifat keras hati sebagai anak tunggal dalam diri Oto.
Sewaktu TK Ototake pernah menjadi narator dalam pertunjukan sandiwara di TK Seibo. Ketika kelas 5 SD, Oto ikut kegiatan lomba lari dalam rangka memperingati Hari Olahraga. Meski dalam keikutsertaanya ini Oto menempati urutan terakhir, tetapi ada perasaan senang dari Oto. Karena ini adalah lomba lari pertamanya. Dan para penonton mendukung serta memberinya semangat.
Pada kelas 6 SD, Oto juga sempat mengikuti lomba renang yang diikuti oleh siswa dari 3 sekolah dasar. Waktu SMP Oto mendaftar di klub basket. Sewaktu SMP juga, ia terpilih sebagai ketua OSIS!
Saat SMU Oto tergabung dalam jajaran pelatih tim football Toyama Green Hornets. Bahkan mendaki gunung yang menjadi aktifitas sulit, bahkan bagi orang normal sekalipun, Oto juga melakukannya! Dan yang tak kalah mengesankan, ia sejak April 1999 bekerja sebagai co-presenter di sebuah program TV.
Terlalu panjang jika saya ceritakan kehidupan Ototake di sini. Bisa-bisa blog saya isinya kisah Ototake tok (hehehe,.). Saya sarankan, jika anda mau mengetahui biografi Ototake, silakan baca buku yang ia tulis sendiri berjudul : No One’s Perfect. Sebuah buku yang ditulis berdasar kisah nyata terbitan Elex Media Komputindo (Jakarta).
Satu hal yang menjadi kesimpulan dari cerita ini adalah : dengan kekurangsempurnaan yang ada pada dirinya, Oto tetap menegakkan kepala dan mantap menatap ke depan. Ia tak pernah meratapi apa yang telah dianugerahkan Tuhan kepadanya. Bahkan ikhlas dan mensyukuri hingga mampu meraih prestasi.
Oto membuat orang yang senasib dengan dia jadi bersemangat lagi. Sementara orang normal yang mengetahui kisahnya akan begumam :”WOW!”.
Semoga kisah di atas membuat kita tak mudah mengeluh dengan keadaan kita saat ini. Karena sebenarnya, impian bisa diraih, siapa pun orangnya!
Jadilah juara!