Diposting oleh
shofa firdaus
komentar (4)
Anda penyuka fiksi? (boleh cerpen atau novel). Pernahkah anda terpancing emosi saat anda membaca ceritanya? (Emosi yang saya maksud tidak harus marah, bisa: menangis, tertawa, mencak-mencak, hingga tergerak untuk melakukan tindakan nyata). Padahal anda tahu, itu tulisan fiktif. Bahkan ketika anda sudah selesai membaca cerita, lalu buku ditutup, isi cerita seolah tetap berbisik dan hidup dalam kepala anda, untuk sekian lama.
Lalu kenapa ada pula cerita yang hanya memberi hiburan sesaat saja―ketika anda sedang membaca―dan sesudah itu anda lupa samasekali?
Apa sih rahasianya tulisan fiksi yang inspiratif?
Mohon bersabar. Mari dibahas pelan-pelan.:)
Sudah menjadi ketentuan, bahwa yang fiktif itu hanya berupa karangan. Meski dalam sampul sebuah novel, misalnya, tertera: ditulis berdasar kisah nyata, namun tentu tidak sepenuhnya nyata. Bisa saja sebagian memang berdasar kejadian nyata (faktual), namun pastilah sebagian tercampur polesan imajinasi penulisnya, terlepas dari berapa persen yang fakta (nyata), berapa persen yang fiktif (tidak nyata). Namun ajaibnya, meski sejak awal sudah sadar bahwa novel tidak sepenuhnya nyata, beberapa pembacanya terbujuk untuk melakukan hal serupa dalam novel itu. Kenapa bisa begitu?
Rahasianya adalah: cerita yang inspiratif tidak hanya mengisahkan kronologi sebuah peristiwa, namun juga menyisipkan nila-nilai (values). Nilai yang bagaimana? Menurut Derek Rowntree dalam karyanya “A Dictionary of Education”, nilai mengandung: moral, keindahan, kepercayaan, serta ukuran. Ada pesan tersembunyi yang ingin disampaikan penulis melalui sebuah cerita. Pesan yang mengandung nilai kebenaran.
Jadi intinya, cerita inspiratif tidak hanya menyampaikan sebuah cerita yang ”benar” (true), tapi juga menyampaikan sebuah “kebenaran”(truth).
Tentu berbeda. Menulis yang sekedar benar (true), hanya menceritakan jalannya cerita, memaparkan fakta-fakta. Tanpa ada sisipan pesan moral di dalamnya. Namun dalam menulis yang disertai kebenaran (truth), si penulis memberinya muatan-muatan pesan yang bermanfaat bagi pembacanya.
Ambil contoh: novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Sebuah cerita tentang 10 anggota Laskar Pelangi yang belajar di sekolah yang ruang kelasnya lebih mirip kandang kambing dibanding kelas untuk belajar. Juga tentang Lintang yang rela bersepeda menempuh perjalanan 80 kilometer demi untuk sekolah.
Memang, sebagian fakta dalam novel itu benar―berupa pengalaman masa kecil Andrea―tapi tentu tidak seluruhnya benar. Namanya juga fiksi. Seperti jarak yang ditempuh Lintang, oke, kita menganggap angka 80 kilometer itu benar. Karena kita tidak ada di tempat itu dan secara langsung terlibat. Tapi sejatinya, terlepas dari kevalidan jarak yang ditempuh itu, ada kebenaran (truth) cerita berupa: betapa Lintang (seorang murid SD miskin) tetap bersemangat dan pantang menyerah demi meraih pendidikan.
Selain mampu memotivasi dan memberi asupan “nutrisi jiwa” bagi pembacanya, tulisan inspiratif yang mengandung nilai kebenaran (truth) kebal dimakan massa. Ia akan terus relevan seiring waktu yang menggelinding. Tentu menyenangkan bila tulisan kita tidak hanya menghibur, namun mampu mengajak orang untuk berbuat kebaikan.
Anda tertarik untuk mencobanya?
Salam inspirasi.
:)
(terilhami oleh tulisan Roy Goni berjudul Storytelling)
Lalu kenapa ada pula cerita yang hanya memberi hiburan sesaat saja―ketika anda sedang membaca―dan sesudah itu anda lupa samasekali?
Apa sih rahasianya tulisan fiksi yang inspiratif?
Mohon bersabar. Mari dibahas pelan-pelan.:)
Sudah menjadi ketentuan, bahwa yang fiktif itu hanya berupa karangan. Meski dalam sampul sebuah novel, misalnya, tertera: ditulis berdasar kisah nyata, namun tentu tidak sepenuhnya nyata. Bisa saja sebagian memang berdasar kejadian nyata (faktual), namun pastilah sebagian tercampur polesan imajinasi penulisnya, terlepas dari berapa persen yang fakta (nyata), berapa persen yang fiktif (tidak nyata). Namun ajaibnya, meski sejak awal sudah sadar bahwa novel tidak sepenuhnya nyata, beberapa pembacanya terbujuk untuk melakukan hal serupa dalam novel itu. Kenapa bisa begitu?
Rahasianya adalah: cerita yang inspiratif tidak hanya mengisahkan kronologi sebuah peristiwa, namun juga menyisipkan nila-nilai (values). Nilai yang bagaimana? Menurut Derek Rowntree dalam karyanya “A Dictionary of Education”, nilai mengandung: moral, keindahan, kepercayaan, serta ukuran. Ada pesan tersembunyi yang ingin disampaikan penulis melalui sebuah cerita. Pesan yang mengandung nilai kebenaran.
Jadi intinya, cerita inspiratif tidak hanya menyampaikan sebuah cerita yang ”benar” (true), tapi juga menyampaikan sebuah “kebenaran”(truth).
“Lho emangya beda?”
Tentu berbeda. Menulis yang sekedar benar (true), hanya menceritakan jalannya cerita, memaparkan fakta-fakta. Tanpa ada sisipan pesan moral di dalamnya. Namun dalam menulis yang disertai kebenaran (truth), si penulis memberinya muatan-muatan pesan yang bermanfaat bagi pembacanya.
Ambil contoh: novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Sebuah cerita tentang 10 anggota Laskar Pelangi yang belajar di sekolah yang ruang kelasnya lebih mirip kandang kambing dibanding kelas untuk belajar. Juga tentang Lintang yang rela bersepeda menempuh perjalanan 80 kilometer demi untuk sekolah.
Memang, sebagian fakta dalam novel itu benar―berupa pengalaman masa kecil Andrea―tapi tentu tidak seluruhnya benar. Namanya juga fiksi. Seperti jarak yang ditempuh Lintang, oke, kita menganggap angka 80 kilometer itu benar. Karena kita tidak ada di tempat itu dan secara langsung terlibat. Tapi sejatinya, terlepas dari kevalidan jarak yang ditempuh itu, ada kebenaran (truth) cerita berupa: betapa Lintang (seorang murid SD miskin) tetap bersemangat dan pantang menyerah demi meraih pendidikan.
Selain mampu memotivasi dan memberi asupan “nutrisi jiwa” bagi pembacanya, tulisan inspiratif yang mengandung nilai kebenaran (truth) kebal dimakan massa. Ia akan terus relevan seiring waktu yang menggelinding. Tentu menyenangkan bila tulisan kita tidak hanya menghibur, namun mampu mengajak orang untuk berbuat kebaikan.
Anda tertarik untuk mencobanya?
Salam inspirasi.
:)
(terilhami oleh tulisan Roy Goni berjudul Storytelling)