Aku adalah seorang yang yang lahir dari keluarga berpenghasilan minim. Ingat, minim! Sehingga "besar pasak daripada tiang" begitu kental menyelimuti kehidupan kami. Untuk itulah aku, dengan dukungan keluarga tentunya, berkeinginan merubah nasib. Meningkatkan taraf kehidupan keluarga kami.
Untungnya, walau dengan jatuh-bangun-terlempar-terpental berkali-kali, ibuku nekad menyekolahkanku. Tujuannya pasti, aku jadi orang berilmu, berguna bagi sesama dan tentunya berpenghasilan lumayan. Itulah harapan orangtuaku yang kemudian menjadi motivasiku untuk tak pernah usai dahagaku mereguk ilmu.
Dipilihlah kampus *** sebagai sarang madu ilmu, tempatku bergelut dengan aksara berkabut selimut makna. Bayanganku awal (lebih tepatnya perkiraan), bahwa: "Universitas manapun baik, yang penting serius belajar, pasti hasilnya juga bagus," sedikit meleset. *** yang kupilih dengan alasan murah, meriah, dekat dengan rumah, ternyata kerap membuatku jengah. Tak hanya minimnya fasilitas yang ada (untuk yang satu ini aku tidak protes, lha wong SPP saja gratis), tapi tidak semua dosen benar-benar kompeten di bidangnya.
Tak jarang dosen mengajar hanya sekedar nggugurne kewajiban-nya sebagai pengajar. Sehingga apa yang disampaikannya, apa yang hendak dicapai oleh mahasiswanya (target), terkesan serampangan. Tanpa persiapan. Bisa jadi tanpa tujuan!
Sempat aku kaget dengan keadaan ini. "Wah, kalau begini keadaannya, bagaimana dengan nasibku nantinya?," pikirku waktu itu. Berbagai pikiran negatif tentang masa depan akibat kondisi kampusku perlahan menggerayangi nalarku, menabur benih pesimis dalam hatiku. Hingga suatu saat ada bisik nakal (entah dari mulut setan mana) menggodaku, "Apa mungkin aku bisa memenuhi harapan orangtuaku?", "Bisakah aku berhasil (sukses) dengan kacaunya system di kampusku? Sementara lulusan Universitas negri yang (kira-kira) lebih baik system pendidikannya saja banyak yang nganggur. Apalagi aku, ah.."
***
Suatu hari, kekalut-ruwetan gelut pikirku kusampaikan kepada salah seorang dosen muda melalui surat elektronik. Hampir segala hal yang menjadi momok dalam pikiranku, mengenai kampus&masa depan, kutumpahkan dalam surat.
Aku tak berharap banyak dia mau menjawab kesahku. Tulisanku dibaca saja, aku sudah sangat bersyukur. Seumpama tidak dibaca pun, aku takkan kecewa. Ya, setidaknya bebanku lumayan berkurang.
Namun ternyata dugaanku keliru. Aku dibalas! Tidak itu saja yang membuatku serasa ingin melompat dan teriak Yes! (untung waktu itu aku sadar ada di warnet. Hehehe..). Jawabanya mampu melumerkan belenggu dalam otakku, mendongkrak nyaliku, memompa semangatku, menyulut percik asa dalam hidupku. Barangkali terdengar berlebihan, tapi aku jujur. Sungguh, jika dia di depanku saat itu, akan kusungkemi dia beberapa lama. Kutraktir dia makan di warteg sepuasnya. Walau aku harus berhutang untuk mentraktirnya.
Tulisan itu, jawaban darinya (tak usah kuceritakan semuanya, terlalu panjang) mambuatku sadar. Apapun keadaannya, asal punya tekad, keberhasilan bisa diraih! "Sistem hanyalah penunjang. Bukan syarat mutlak keberhasilanmu," begitu secuil nasihatnya yang terpatri menjadi mindsetku sampai sekarang. Kata-katanya dalam inbox kotak sutrat pribadiku kucetak dan kupajang persis di atas meja belajarku. Agar setiap saat aku ingat, tambah semangat, bahwa workhard sanggup menggerus halangrintang menjadi serpih remeh temeh.
Sejak saat itu, aku tak peduli lagi dengan kacaunya system di kampusku. Aku hampir tak peduli lagi dengan laku dosenku yang (maaf) kurang bermutu. Itu semua, bila kupikir-renungkan hanyalah alasan penghambat kemajuan. Toh masih ada dosen import yang kwalitasnya lumayan. Dengan kekurangsempurnaan penyampaian pengetahuan, toh Perpus BK di kota Blitar selalu siap membantuku mengobati dahaga ilmu.
***
Segala hal tidak mungkin terjadi karena kebetulan, murni unsur ketidaksengajaan. Semua telah diperhitungkan sangat matang. Dengan pertimbangan sangat jeli oleh Sang Maha Perencana, Maha Bijaksana.
Jatuh itu biasa. Bukan jatuhnya yang mesti desesali, tapi pikir dan lakukan: "secepatnya bangkit dan berlari". Itulah episode hidup. Selalu berubah, agar tidak monoton dan terasa indah. Tentu, jika manusia mau balajar melalui tetes hikmah.
Penulis adalah asli orang Blitar. Lahir dan didewasakan di Blitar. Kini sedang menyelesaikan kuliahnya di sebuah Universitas swasta di Blitar jurusan Ilmu komunikasi. Bisa dihubungi di E-mail / face book : bening_firdaus@yahoo.com
suber gambar : http://portalwongsukses.files.wordpress.com
Diposting oleh
shofa firdaus
1 komentar:
oke, boleh juga lu!! (hehe. narsiscuss..)
Posting Komentar