Sejak sebulan lalu saya kebelet pingin nulis, tentang apa saja asal menarik. Tapi sebelnya, semakin saya ngebet, semakin ide di kepala saya seolah mampet. Hingga akhirnya, ilham penulisan itu datang. Melalui seorang lumpuh yang tak sengaja saya lihat di jalan.
Waktu itu (kalau tidak salah) sepulang dari perpustakaan tanpa sengaja saya melihat orang lumpuh di pinggir jalan. Seorang bapak yang menaiki kendaraan orang lumpuh. Kelihatannya sih desain sendiri. Bisa dilihat dari bentuknya yang tidak lazim. Tidak seperti kursi roda kebanyakan, tapi lebih mirip becak. Sama-sama beroda tiga. Bedanya, dua roda berada di bagian belakang kendaraan, tepat di samping tempat duduk pengemudi. Sementara satu roda lainnya, justru berada di depan. Persis becak yang dipotong jadi dua bagian, depan dan belakang. Dan potongan bagian buritan disambungkan tepat di depan dudukan kemudi. Nah, di bagian roda depan ini terhubung dengan dengan pedal yang dikayuh dengan kedua tangan. Pedal itu pula yang merangkap fungsinya sebagai setir kemudi . Sepintas terkesan unik.
Ketika saya melihatnya, reflek, saya kendorkan gas motor saya. Penasaran. Bukan karena uniknya kendaraan yang saya lihat, bukan. Tapi saya penasaran, ingin melihat lebih dekat tulisan yang tertera di bagian kendaraan itu. Yang letaknya tepat di belakang sandaran tempat duduk pengemudinya.
Setelah begitu pelan laju motor saya, tulisan itu pun terbaca. Begini bunyinya : “MAAF. Cacat karena tsunami”
Sekilas mungkin biasa. Tapi coba perhatikan benar kata yang saya tulis dengan huruf kapital. Kata itu berbunyi “MAAF”. Gara-gara kata “maaf”, selama perjalanan pulang pikiran saya terusik. Kenapa mesti minta maaf? Memangnya cacat itu sebuah kesalahan? Atau karena ia merasa menghambat lalulintas, mengganggu kenyamanan pengguna jalan lain?
Kontan aku pun bereaksi, “Seharusnya bapak tidak perlu minta maaf! Bapak tidak bersalah! Coba bapak lihat pemuda-pemuda urakan itu. Mereka yang naik motor dengan bunyi knalpot yang meledak-ledak. Ngebut semaunya. Mereka tak pernah minta maaf. Juga sopir bus dan angkot yang suka nyalip lalu tiba-tiba ngerem ndadak itu. Mereka enjoy saja. Tak pernah merasa bersalah, apalagi inta maaf. Padahal banyak pengguna jalan lain yang protes dengan tingkah ugal-ugalan mereka. Kenapa justru bapak yang tidak bersalah mesti minta maaf?!” aku pun ngomel-ngomel. Dalam hati.
Lalu tibalah saya di ruas jalan yang dicegat sebuah papan peringatan bertuliskan : “Maaf, jembatan sedang dalam perbaikan”. Di sebelah papan tulisan, terpancang rambu dilarang masuk. Saya pun putar haluan mencari jalan lain. Tapi pikiran saya terlanjur nyangkut di papan peringatan itu. Lagi-lagi saya dibuat bingung dengan penggunaan kata “maaf”. Kenapa mesti minta maaf? Bukankah perbaikan jembatan itu demi kepentigan bersama? Se-begitu sensitif kah perasaan orang di negri ini? Sampai harus mencantumkan kata “maaf” demi menjaga agar tidak menciderai perasaan orang lain?
Kenapa tidak ditulis saja : “Jembatan sedang diperbaiki. Silakan lewat jalan lain”. Toh para pengguna jalan yang melihatnya sudah paham. Kecuali yang buta huruf. Hehehe,..
Saya jadi teringat tentang pengalaman saya yang lain. Masih berhubungan dengan kata “maaf”. Yaitu ketika saya menjahitkan celana di tukang jahit. Waktu itu mau lebaran.
Saya tanya ke tukang jahit, “Pak, kapan bisa diambil?”.
Dia jawab, “Seminggu lagi” dengan anggukan yang mantap dan pasti. Seminggu kemudian saya datang mengambil. Tapi alangkah kecewanya saya ketika si penjahit bilang, “Maaf belum jadi mas. Silahkan datang 3 hari lagi”. Apa boleh buat, saya pulang dengan sekepal rasa kecewa. Nah, yang bikin jengkel, setiap kali saya datang, setiap kali pula penjahit selalu memberi janji. Berbagai alasan yang keluar pun berganti-ganti. Yang banyak pesanan lah, yang pelanggan anu minta didahulukan lah, ini lah, itu lah. Sampai saya capek mendengarnya.
Uniknya, setiap janji yang dia berikan selalu diembel-embeli kata “maaf”. Dan lebih unik lagi, setiap kali penjahit bilang maaf, samasekali tak tersirat nada orang bersalah. Wajahnya tetap kalem dan tenang. Seperti wajah polos bayi baru belajar berjalan yang tak sengaja memecahkan vas ibunya. Raut mukanya tetap cool, padahal si ibu jengkel bukan main.
Dari beberapa kejadian yang pernah saya alami, saya pun dibuat bingung. Sebenarnya apa sih fungsi kata “maaf”? Dulu sewaktu saya masih SD, ibu selalu mengajarkan agar saya harus minta maaf bila berbuat kesalahan terhadap orang lain. Siapapun orang itu. Dan janji untuk tidak mengulang lagi kesalahan serupa. Waktu itu saya berkesimpulan, bahwa kata maaf digunakan sebagai penghapus kesalahan kita terhadap orang lain, agar orang yang kita salahi mau dengan sukarela mengikhlaskan perbuatan kita yang keliru. Pemahaman itulah yang saya pegang selama ini.
Namun beberapa kejadian yang saya temukan kemudian menggoyahkan pemahaman saya tentang penggunaan kata “maaf” sebelumnya.
Pertama, tentang si supir angkot dan bus yang suka seenak udelnya di jalanan itu. Banyak yang merasa jengkel dengan ulah mereka. Apakah itu bukan kesalahan? Kalau iya, buktinya sampai saat ini saya belum pernah sekalipun melihat mereka minta maaf kepada orang yang telah dibuat jengkel. Bukankah kalau salah mesti minta maaf?
Kedua, tentang kata “maaf” yang digunakan selagi jembatan dalam perbaikan. Saya menilai “maaf” dalam perbaikan itu bertujuan agar pengguna jalan tidak tersulut jengkel. Padahal jelas, memperbaiki jembatan bukan sebuah kesalahan. Baru kalau jembatan rusak hingga menelan korban itu baru salah. Petugas yang bertanggung jawab mengurusi jembatan itulah yang salah. Lalu apakah benar perasaan orang di negeri ini begitu halus? Saking halusnya, hanya karena takut perasaan orang lain terluka, kata “maaf” perlu di ucapkan. Padahal tidak melakukan kesalahan.
Ketiga, kata ‘maaf’ yang begitu lentur terucap dari mulut si penjahit tadi. Jelas dia bersalah karena melanggar janji. Anehnya, setelah dimaafkan, dengan santainya dia mengulang lagi kesalahan yang sama. Dari sini saya punya kesimpulan lain tentang fungsi kata “maaf”, yaitu untuk mengelak dari tanggung jawab. Buktinya, si penjahit tadi ditagih jahitan, kata “maaf” lah yang buru-buru di sodorkan . Bukan jahitan celana saya yang sejak lama saya butuhkan. Apakah itu namanya sikap yang bertanggung jawab?
Kawan, jujur saja. Sampai tulisan ini diposting, saya masih bingung. Sebenarnya kata “maaf” itu fungsinya untuk apa sih?
:D
Penulis adalah asli orang Blitar. Lahir dan didewasakan di Blitar. Kini sedang menyelesaikan kuliahnya di sebuah Universitas swasta di Blitar jurusan Ilmu komunikasi. Bisa dihubungi di E-mail / face book : bening_firdaus@yahoo.com
sumber gambar : http://ferdinandolase.files.wordpress.com
Diposting oleh
shofa firdaus
4 komentar:
Maaf, maaf dan maaf. menurut aku digunakan biar sopan gitu....
Kenapa gak beli celana baru aja?Biar praktis, he.. he..
gak da yang muat jeng. ukurane naggung. g da di pasaran,...
hehehe,..
^atas^
Ga da yg muat jare?
Emang seGedhe apa orangnya?
Ga da yg pas kali maksudnya :D
*kembali ke topik*
Yup,
Kata 'maaf' sbnrnya sangat penting,
Tp dewasa ini sering salah digunakan,.
mas pothomyu lutu..!!!
aqyu jd ketawa...
(bukannya menghina, cuma emang lucu, tapi gag jelex kuq..)
untung ae, di billing da chuz2, (dia jugag ketawa)
jadi'a, aku terbebas dari tuduhan GILA...
wakaakakakak....!!!
Posting Komentar