Kaum penyembah A

Kulihat lagi Ka-Ha-Es yang kuterima beberapa minggu lalu. Entah kenapa, perasaanku datar-datar saja. Tak seperti ekspresi kebanyakan teman lain yang bernilai lumayan. Ketika abjad A dan B memonopoli Ka-Ha-Es mereka.

Masih kuingat samar-samar. Setiap wajah yang menggurat rasa sumringah. Menatap nilai dengan senyum merekah. Tatapan mereka pasti. Dengan dada membusung meninggi. “Heh. Nasib baik tlah kugenggam!”, begitulah makna tatapan yang coba kuterjemahkan.

Ya. Begitulah realitanya. Kepuasan meraih nilai A dan B menjadi puncak kepuasan kuliah. Hingga mereka seolah lupa, atau memang tak mau tahu bagaimana mereka mendapatkan nilai itu. Titip absen, copy paste tugas teman, hingga mencontek di waktu ujian dianggap wajar. Menjadi hal lumrah. Walau sebenarnya salah kaprah. Semua demi nilai. Tanpa sadar, mereka telah membohongi diri sendiri.

Trenyuh aku melihatnya.

Mengapa mereka begitu mendewa-dewakan abjad A atau B? Hingga arti sekolah tidak benar-benar mereka pahami. Bukankah memahami setiap pemikiran para pemikir besar, mencerna ilmu, jauh lebih nikmat dan bermanfaat? Dibanding sekedar mengoleksi hurf A besar.

Apakah mereka pikir, nilai A berderet di selembar ijazah kelak sanggup menolong? Apakah cukup bermodal titel, mereka merasa bisa survive dalam kehidupan?

Kawan. Boleh kau catat kata-kataku ini. Jangan sekali-kali kalian mau bersusah payah. Berangkat pagi, pulang mejelang sore. Jika niat kalian, kelak 4 tahun lagi selembar ijazah ada dalam genggaman. Hidup ini terlalu keras ditaklukkan hanya dengan selembar ijazah usang.

Tiba-tiba aku semakin trenyuh melihat keadaan. Menatap Ka-Ha-Es ku. Lalu berpaling menatap cermin di depanku. Ternyata, aku sama saja seperti mereka itu!


Penulis adalah asli orang Blitar. Lahir dan didewasakan di Blitar. Kini sedang menyelesaikan kuliahnya di sebuah Universitas swasta di Blitar jurusan Ilmu komunikasi. Bisa dihubungi di E-mail / face book : bening_firdaus@yahoo.com