Kutitipkan mimpiku padaMu, untuk Ibu





Menyambut hari Ibu, kepersembahkan sebuah sajak pada Ibu


Ibu
Seandainya raga ringkih ini membudakkan dirinya utuh, padamu
Takkan cukup menyumbat curah kasihmu

Bila mentari tlah mbalelo menyapa bumi,
Sungguh
Pengabdianmu menjaga nyala hidupku, takkan ikut padam

Taruh nyawa kau ambil
Demi nyawa baru yang kelak bisa berubah kerikil,
dalam kehidupanmu

Tapi kau tak peduli
Tak pernah terpikir akan balas kau dapat nanti

Sering ku termanja
Hingga tak kuasa berjiwa rupa Sugriwa
Hanya bisa berjingkrak menghujat,
memekik meminta

Tapi engkau tetaplah Dewi Sri-ku, Ibu
Tanpa ragu kau sisihkan potongan hidupmu
Demi kehidupan baru

Ibu,
Aku tahu
Tak pantas (sebenarnya) ku mengaku anakmu
Karena sungguh
Jangankan mempersembahkan cinta
Yang sering,
ku suguhi engkau nelangsa
Karena kenakalanku
Karena kekanak-kanak’anku yang tak pernah menjadi dewasa di pangkuanmu

Doamu Ibu
Panjatmu setiap dini hari tentangku
Aku janji
Kelak kan ku antar engkau mengadu, mengharu biru padaNya
Bersujud pasrah luruh, merindu fitrah
Di sana, Makkah Al-Mukaromah


Untuk ibuku terkasih. Dan seluruh ibu di dunia yang penuh kasih.

Penulis, juga kerjaan Lo!


Menulis, menjadi seorang penulis, sama sekali tak terlintas di pikiran saya sejak kecil. Bahkan sejak saya bisa nulis "Ini Budi", ketika saya telah duduk di kelas nol besar!

Penulis bukanlah bagian dari deretan cita-cita mulia. Sangat tidak familiar di telinga mayoritas masyarakat kami, di kampungku (bahkan mungkin di seantero Indonesia juga?).

Kata-kata "penulis" terlalau asing. Lebih asing dari alien, si makhluk asing luar angkasa yang konon ada itu. Kenapa saya bilang begitu? Ya. Karena sejak dulu_semenjak saya TK hingga STM(sekarang SMK)_tak pernah sekalipun guru saya merekomendasikan bahwa Penulis adalah cita-cita juga. Pekerjaan yang bisa mengasilkan uang.

Bermacam cita-cita yang pernah terlontar dari mulut-mulut kami dulu (sewaktu TK), mulai dari guru, mantri sunat, dokter, pilot, astronot, polisi, sampai presiden_penulis tak pernah masuk hitungan. Mengutip kata-kata Arswendo, "Padahal itu boleh dan bisa sebagai salahsatu pilihan".

Namun akhirnya pemahamanku berubah, tentang penulis dan menulis itu sendiri. Tepatnya kapan, aku tak ingat persis. Tapi penyebabnya apa, sedikit-sedikit saya masih ingat.

Sekitar dua tahun lalu, setelah aku mendaftar sebagai anggota perpustakaan kota Blitar. Maklum, waktu itu saya masih terbilang baru jadi anak kuliahan. Lagi semangat-semangatnya belajar. Lagipula gengsi dong, masak anak kuliah ndak pernah baca buku. hehe,..

Bermula dari gengsi-gengsian jadi anggota perpustakaan itulah tanpa sengaja saya temukan sebuah buku bagus. Penulisnya bilang, "buku bergizi". Walaupun buku lama (terbitan tahun 2004), tapi isinya benar-benar baru bagi saya. Buku itu berjudul Andaikan Buku itu Sepotong Pizza. Penulisnya bernama Hernowo. Sebuah nama yang baru sekali saya dengar, ya dari buku itu.

Buku itu bagus, sangat bagus malah. Itu menurut saya. Isinya benar-benar berbobot, sangat bermutu. Tapi komohon, kalian jangan dulu salah sangka. Saya memuji buku itu bukan berarti saya staf marketingnya lo. Saya cuma pingin cerita pengalaman saya saja. Kalau baik silakan pakai, kalau menjerumuskan silakan ditinggal. Oke? Baiklah saya lanjutkan.

Buku itu bicara seputar : Cara membaca yang baik, benar, dan mengasikkan. Lho, cuma begitu dibilang bagus? Sebentar, jangan menyela. Baca saja dulu sampai tuntas.

Dijelaskan dalam buku itu, bahwa membaca buku tak jauh beda dengan menikmati makanan. Tepatnya pizza. Kita bisa dan boleh mulai membaca dari mana saja. Tidak harus dari awal, halaman pertama. Suka-suka saja lah. Pilih yang kelihatan bagus, lalu baca. Seperti kalau kita makan pizza, tak ada aturan kita mesti mulai makan dari sebelah mana. Bahkan sah-sah saja kalau kita makan dari tengah, atau mencukili isi pizza yang kelihatan paling enak.

Asiknya, kalau makan pizza tidak habis akan mibadzir & eman-eman, membaca buku tidak. Puluhan, ratusan, bahkan ribuan kali lebih dibaca, khasiat buku takkan ikut habis.Alias tetap utuh.

Nah, dari pak Hernowo pula, saya jadi tau tips sakaw membaca, keranjingan membaca. Kenapa saya bilang begitu? Karena setelah saya praktekkan sarannya, saya benar-benar kecanduan membaca.

Setiap ada waktu luang, saya selalu menyempatkan membaca. Apa saja. Walau cuma baca komik atau sobekan koran bekas bungkus cabe_dari belanja ibu. Uniknya, kalau sakaw narkoba terasa menyiksa, sakaw membaca nikmat tak terkata.

Dalam sehari, rugi rasanya kalau saya melewaktan aktifitas baca.Rasanya, seperti kurang sempurna hidup ini. *haiyah*

Bukan hanya itu. Ternyata lagi, pada tingkatan tertentu kecanduan membaca menyebabkan pula hasrat menulis. Dan itu terjadi secara otomatis!

Saya umpamakan dua aktifitas ini (baca-tulis)seperti siklus makan pada hewan bernama musang.

Pernahkah kalian mendengar kopi musang? Kopi yang dihasilkan musang.

Musang yang makan kopi secara terus-menerus akan secara lagsung mengeluarkan biji kopi melalui saluran pembuangan. Yang mengagumkan, terjadi simbiosis mutualisme antara musang dan pemiliknya. Musang dapat nutrisi dari kulit&buah kopi, bijinya dikonsumsi manusia sebagai kopi bercitarasa tinggi. Mahal harganya.

Begitu juga pikiran manusia yang begitu terbatas daya tampungnya, seperti pencernaan musang tadi. Jika memori ini terus terisi dengan asupan nutrisi, melalui membaca, pasti ia kebelet mengeluarkan apa yang telah ia cerna. Melalui tulisan. Ya menulis itu. Jika menulis itu dilakukan, maka kelaparan membaca justru akan semakin menjadi. Siklus seperti ini terulang terus-menerus.

Seperti juga si musang, pembaca yang mau menulis kelak juga akan menciptakan simbisosis mutualisme. Ia membaca dapat pengetahuan baru, sementara orang yang membaca tulisannya juga ketularan dapat ilmu.

Nah, dari sini lah lalu saya memberanikan diri jadi follower . Mencita-citakan pekerjaan yang, barangkali, tidak lazim untuk ukuran orang desa seperti saya. Sebuah profesi yang sewaktu kecil dulu saya tak pernah mendengarnya. Menjadi PENULIS!

Untuk seorang pemula, tulisan saya di atas bagus kan..Buktinya anda membacanya sampai tuntas!
hahaha,..
:D

Penulis adalah asli orang Blitar. Lahir dan didewasakan di Blitar. Kini sedang menyelesaikan kuliahnya di sebuah Universitas swasta di Blitar jurusan Ilmu komunikasi. Bisa dihubungi di E-mail / face book : bening_firdaus@yahoo.com

sumber gambar anak menulis : http://images.google.co.id

“MAAF” yang membingungkan

Sejak sebulan lalu saya kebelet pingin nulis, tentang apa saja asal menarik. Tapi sebelnya, semakin saya ngebet, semakin ide di kepala saya seolah mampet. Hingga akhirnya, ilham penulisan itu datang. Melalui seorang lumpuh yang tak sengaja saya lihat di jalan.

Waktu itu (kalau tidak salah) sepulang dari perpustakaan tanpa sengaja saya melihat orang lumpuh di pinggir jalan. Seorang bapak yang menaiki kendaraan orang lumpuh. Kelihatannya sih desain sendiri. Bisa dilihat dari bentuknya yang tidak lazim. Tidak seperti kursi roda kebanyakan, tapi lebih mirip becak. Sama-sama beroda tiga. Bedanya, dua roda berada di bagian belakang kendaraan, tepat di samping tempat duduk pengemudi. Sementara satu roda lainnya, justru berada di depan. Persis becak yang dipotong jadi dua bagian, depan dan belakang. Dan potongan bagian buritan disambungkan tepat di depan dudukan kemudi. Nah, di bagian roda depan ini terhubung dengan dengan pedal yang dikayuh dengan kedua tangan. Pedal itu pula yang merangkap fungsinya sebagai setir kemudi . Sepintas terkesan unik.

Ketika saya melihatnya, reflek, saya kendorkan gas motor saya. Penasaran. Bukan karena uniknya kendaraan yang saya lihat, bukan. Tapi saya penasaran, ingin melihat lebih dekat tulisan yang tertera di bagian kendaraan itu. Yang letaknya tepat di belakang sandaran tempat duduk pengemudinya.

Setelah begitu pelan laju motor saya, tulisan itu pun terbaca. Begini bunyinya : “MAAF. Cacat karena tsunami”

Sekilas mungkin biasa. Tapi coba perhatikan benar kata yang saya tulis dengan huruf kapital. Kata itu berbunyi “MAAF”. Gara-gara kata “maaf”, selama perjalanan pulang pikiran saya terusik. Kenapa mesti minta maaf? Memangnya cacat itu sebuah kesalahan? Atau karena ia merasa menghambat lalulintas, mengganggu kenyamanan pengguna jalan lain?

Kontan aku pun bereaksi, “Seharusnya bapak tidak perlu minta maaf! Bapak tidak bersalah! Coba bapak lihat pemuda-pemuda urakan itu. Mereka yang naik motor dengan bunyi knalpot yang meledak-ledak. Ngebut semaunya. Mereka tak pernah minta maaf. Juga sopir bus dan angkot yang suka nyalip lalu tiba-tiba ngerem ndadak itu. Mereka enjoy saja. Tak pernah merasa bersalah, apalagi inta maaf. Padahal banyak pengguna jalan lain yang protes dengan tingkah ugal-ugalan mereka. Kenapa justru bapak yang tidak bersalah mesti minta maaf?!” aku pun ngomel-ngomel. Dalam hati.

Lalu tibalah saya di ruas jalan yang dicegat sebuah papan peringatan bertuliskan : “Maaf, jembatan sedang dalam perbaikan”. Di sebelah papan tulisan, terpancang rambu dilarang masuk. Saya pun putar haluan mencari jalan lain. Tapi pikiran saya terlanjur nyangkut di papan peringatan itu. Lagi-lagi saya dibuat bingung dengan penggunaan kata “maaf”. Kenapa mesti minta maaf? Bukankah perbaikan jembatan itu demi kepentigan bersama? Se-begitu sensitif kah perasaan orang di negri ini? Sampai harus mencantumkan kata “maaf” demi menjaga agar tidak menciderai perasaan orang lain?

Kenapa tidak ditulis saja : “Jembatan sedang diperbaiki. Silakan lewat jalan lain”. Toh para pengguna jalan yang melihatnya sudah paham. Kecuali yang buta huruf. Hehehe,..

Saya jadi teringat tentang pengalaman saya yang lain. Masih berhubungan dengan kata “maaf”. Yaitu ketika saya menjahitkan celana di tukang jahit. Waktu itu mau lebaran.
Saya tanya ke tukang jahit, “Pak, kapan bisa diambil?”.
Dia jawab, “Seminggu lagi” dengan anggukan yang mantap dan pasti. Seminggu kemudian saya datang mengambil. Tapi alangkah kecewanya saya ketika si penjahit bilang, “Maaf belum jadi mas. Silahkan datang 3 hari lagi”. Apa boleh buat, saya pulang dengan sekepal rasa kecewa. Nah, yang bikin jengkel, setiap kali saya datang, setiap kali pula penjahit selalu memberi janji. Berbagai alasan yang keluar pun berganti-ganti. Yang banyak pesanan lah, yang pelanggan anu minta didahulukan lah, ini lah, itu lah. Sampai saya capek mendengarnya.

Uniknya, setiap janji yang dia berikan selalu diembel-embeli kata “maaf”. Dan lebih unik lagi, setiap kali penjahit bilang maaf, samasekali tak tersirat nada orang bersalah. Wajahnya tetap kalem dan tenang. Seperti wajah polos bayi baru belajar berjalan yang tak sengaja memecahkan vas ibunya. Raut mukanya tetap cool, padahal si ibu jengkel bukan main.

Dari beberapa kejadian yang pernah saya alami, saya pun dibuat bingung. Sebenarnya apa sih fungsi kata “maaf”? Dulu sewaktu saya masih SD, ibu selalu mengajarkan agar saya harus minta maaf bila berbuat kesalahan terhadap orang lain. Siapapun orang itu. Dan janji untuk tidak mengulang lagi kesalahan serupa. Waktu itu saya berkesimpulan, bahwa kata maaf digunakan sebagai penghapus kesalahan kita terhadap orang lain, agar orang yang kita salahi mau dengan sukarela mengikhlaskan perbuatan kita yang keliru. Pemahaman itulah yang saya pegang selama ini.

Namun beberapa kejadian yang saya temukan kemudian menggoyahkan pemahaman saya tentang penggunaan kata “maaf” sebelumnya.

Pertama, tentang si supir angkot dan bus yang suka seenak udelnya di jalanan itu. Banyak yang merasa jengkel dengan ulah mereka. Apakah itu bukan kesalahan? Kalau iya, buktinya sampai saat ini saya belum pernah sekalipun melihat mereka minta maaf kepada orang yang telah dibuat jengkel. Bukankah kalau salah mesti minta maaf?

Kedua, tentang kata “maaf” yang digunakan selagi jembatan dalam perbaikan. Saya menilai “maaf” dalam perbaikan itu bertujuan agar pengguna jalan tidak tersulut jengkel. Padahal jelas, memperbaiki jembatan bukan sebuah kesalahan. Baru kalau jembatan rusak hingga menelan korban itu baru salah. Petugas yang bertanggung jawab mengurusi jembatan itulah yang salah. Lalu apakah benar perasaan orang di negeri ini begitu halus? Saking halusnya, hanya karena takut perasaan orang lain terluka, kata “maaf” perlu di ucapkan. Padahal tidak melakukan kesalahan.

Ketiga, kata ‘maaf’ yang begitu lentur terucap dari mulut si penjahit tadi. Jelas dia bersalah karena melanggar janji. Anehnya, setelah dimaafkan, dengan santainya dia mengulang lagi kesalahan yang sama. Dari sini saya punya kesimpulan lain tentang fungsi kata “maaf”, yaitu untuk mengelak dari tanggung jawab. Buktinya, si penjahit tadi ditagih jahitan, kata “maaf” lah yang buru-buru di sodorkan . Bukan jahitan celana saya yang sejak lama saya butuhkan. Apakah itu namanya sikap yang bertanggung jawab?

Kawan, jujur saja. Sampai tulisan ini diposting, saya masih bingung. Sebenarnya kata “maaf” itu fungsinya untuk apa sih?
:D

Penulis adalah asli orang Blitar. Lahir dan didewasakan di Blitar. Kini sedang menyelesaikan kuliahnya di sebuah Universitas swasta di Blitar jurusan Ilmu komunikasi. Bisa dihubungi di E-mail / face book : bening_firdaus@yahoo.com

sumber gambar : http://ferdinandolase.files.wordpress.com

(Masih) Pantaskah Manusia Menjadi Kholifah?

Untuk kesekian kali aku dikeroyok pertanyaan. Mereka menuntutku, menginterogasiku, membetot jawaban dari mulutku.

"Apa arti pintar bagi manusia?!" seloroh yang memukulku telak di ulu hati.
"Apakah dengan kepintaran yang kau punya, kau merasa mampu menjaga bumi Tuhanmu, yang kau akui sebagai milikmu?!" teriak yang mengepit kedua lenganku dengan teriakan pekik di telinga.
"Apakah kalian (manusia) sudah merasa hebat setelah hutan terbabat?!" susul yang menjambakku, sebelum sempat kujawab pertanyan sebelumnya.

Lalu saling timpal pertanyaan-pertanyaan berikutnya yang tak terdengar jelas semuanya. Telingaku perih, dijewer ke kanan ke kiri. Aku merasa nyeri di ulu hati akibat tonjokan yang terasa tembus hingga meremas nyali. Suara-suara itu hanya terdengar berdengung, berjejalan di tempurung kepalaku. Lalu meluber, sebagian mengalir ke relung celah kemanusiawianku. Memprotes keadilan.

Tapi mulut hatiku hanya bisa meringis, tak mampu menjawab satu pun pertanyaan. Dalam batin pun cuma bisa menjawab gagap.

Mata batinku memaksa melek, walau dengan menahan pedih. Melihat kenyataan, bahwa : manusia yang diukir sedemikian indah dan canggih oleh Tuhannya telah dengan brutal merajah-rajah ekosistemnya sendiri. Demi gengsi kebengalan adu nyali dan okolnya, mereka cacah bahtera yang mereka tumpangi bersama. Nalar, terutama nurani, mereka telah lama karatan. Karena terlalu lama dinganggurkan.

Manusia yang seharusnya menjaga laju dan menaungi penumpang lain, justru menggasak sesama (makhluk) secara brutal dengan amuk berkecamuk. Menyebabkan kapal compang-camping. Beberapa penumpang lain terjungkal terhempas. Sementara lainnya pasrah menunggu karam jama'ah.

oh, inikah kemajuan yang sering mereka gembar-gemborkan?
Inikah peradaban yang meraka harap dan nantikan?
Masihkah titel kholifah itu pantas mereka sandang?

Belum sempat ku jawab satu pun pertanyaan, lagi-lagi teriakan mengucur deras menghajarku. Belum sempat ku jawab satu pun! Hingga kini.
Aku keburu pingsan. Dengan jawaban-jawaban gamang yang kembali tertelan.

Penulis adalah asli orang Blitar. Lahir dan didewasakan di Blitar. Kini sedang menyelesaikan kuliahnya di sebuah Universitas swasta di Blitar jurusan Ilmu komunikasi. Bisa dihubungi di E-mail / face book : bening_firdaus@yahoo.com

Hanya Manusia “Super” yang bisa Survive

Semangat, iman, adalah abstrak yang bersifat seperti udara dalam ban sepeda. Kadang penuh, kadang separuh, bahkan hilang samasekali sehingga ban nampak lusuh.

Setelah bergaul dengan si anu, setelah membaca buku itu, sangat mungkin kobar semangatmu tak mampu ditahan hingga mata berpendar pijar.

Namun bisa saja, karena hal-hal sepele tiba-tiba saja hasrat lindap, hilang pula digdaya.

Begitu juga dengan nafsu menulis.

Bila semangat sedang menggeliat mekar-mekarnya, sampai-sampai tangan mengepit pena tak mampu mengiring ide yang terus saja tercurah_muncrat dari benak.

Tapi tak jarang, jika mood benar-benar kering, bikin catatan kecil pun malas.

Sangat benar kiranya, seorang "juara"_manusia di atas rata-rata_macam Nabi Muhammad SAW, Soekarno, Sutan Syahrir, dokter Sutomo, Gandhi begitu dikenang hingga berabad lewat. Bukan penampilan necisnya tentu. Tapi buah pikirannya yang selalu relevan menembus jaman.

Mereka mampu mengolah emosi. Menjaga liukan nyala semangat dalam jiwa dan pikirannya. Mengatur tingkah lakunya. Dan juga mengendalikan nafsu sedemikian rupa.

Tapi ingatlah kawan. Semua manusia yang terlahir di bumi dibekali kamampuan yang sama. Setuju? Okelah, setidaknya persis. Dan hanya orang-orang super yang mampu memenej segala sesuatu dalam dirinya-lah, yang pantas menyandang predikat menusia plus-plus. Manusia di atas rata-rata. Luar biasa!
Mau?

Penulis adalah asli orang Blitar. Lahir dan didewasakan di Blitar. Kini sedang menyelesaikan kuliahnya di sebuah Universitas swasta di Blitar jurusan Ilmu komunikasi. Bisa dihubungi di E-mail / face book : bening_firdaus@yahoo.com

sumber gambar : http://1.bp.blogspot.com

Sudahkah kamu merasa cantik?

Cantik itu berarti kulitnya putih, rambutnya lurus, badannya langsing. Benarkah demikian ? Itukah kriteria cantik menurutmu?

Pasti kamu sudah nggak asing lagi dengan iklan pemutih wajah yang bisa memutihkan hanya dalam 7 hari. Atau shampo yang mampu yang mampu membuat pemakainya digilai 9 dari 10 pria. Serta masih banyak lagi iklan yang intinya memoles keindahan fisik.

Itulah mengapa mayoritas remaja, satu suara dalam merumuskan kriteria cewek ideal. Kulit putih, rambut lurus terurai, tubuh langsing, dan bebas jerawat. Lainnya mungkin tak sama persis, tapi serupa.

Saya yakin, pembaca artikel inipun setuju dengan kriteria cantik (versi iklan) di atas. Bahkan saya juga yakin, di antara para para pembaca artikel ini tak jarang adalah pemakai setia produk kecantikan itu. Tak peduli berapapun usianya, tanpa mempertimbangkan latar belakang sosial masing-masing. Entah itu orang kota, desa, atau gunung sekalipun (maaf, bila ada yang tersingggung..hihi..). Benarkah begitu ? Silakan dijawab sendiri-sendiri.

Tahukah kamu, banyak diantara para cewek yang saking gilanya dengan konsep cantik rela tersiksa hingga meregang nyawa ? Nggak percaya ?

Ana Carolina Reston, fotomodel top Brazil yang namanya meroket di usia yang masih terbilang belia, 21 tahun, begitu terkenal dengan kecantikannya. Pada 14 November 2006 lalu, ia meninggal di Sao Paulo karena infeksi yang menyerang tubuhnya akibat anoreksia nervosa¬_gangguan psikologis yang menyebabkan ia tak mau makan agar nampak selangsing mungkin.

Ketika maninggal, berat badannya hanya 40 kg. Kata dokter, itu berat badan ideal untuk bocah 12 tahun dengan tinggi 152 cm, bukan untuk Ana yang tingginya 172 cm! Ibunya mengaku, sejak 2 bulan sebelum kamatiannya, Ana hanya makan apel dan tomat! Wuihh..gila nggak tuh..

Bukan hanya itu. Sebelum Ana, Luisel Ramos fotomodel asal Uruguay juga meninggal saat fashion show karena gagal jantung. Lagi-lagi penyebabnya adalah diet yang terlalau ketat. Semua demi kecantikan!

Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Jika dua contoh di atas (Ana dan Luisel) mati-matian diet agar masuk standard cantik, di sebuah negeri di Afrika lain lagi.

Di kota Nonakchott, Mauritania, standard cantik adalah gemuk. Maka jangan heran bila melihat seorang bocah perempuan yang dipegangi ayahnya sementara sang ibu tanpa ampun mencekoki susu manis dan bubur. Tujuannya pasti, agar sang anak kelak menjadi cantik. Ironis memang, tapi itu nyata.

Asal tahu saja, di negeri yang mayoritas penduduknya masih nomaden ini orang-orangnya miskin dan kurus. Sehingga mereka berasumsi; gemuk berarti makmur. Semakin gemuk wanita, semakin seksi-lah namanya, sosok wanita ideal.

Tak perlu jauh-jauh. Saya sempat mempunyai seorang rekan yang (maaf) wajahnya rusak karena iritasi kosmetik. Penyebabnya sepele, sekaligus nekat menurut saya. Betapa tidak. Ia yang begitu terobsesi dengan kecantikan, nekat menggunakan kosmetik (sejenis penghilang jerawat) yang seharusnya belum boleh ia pakai. Seingat saya, ia menggunakannya ketika masih SMP, secara berlebihan pula.

Hasilnya, bukan kulit halus mulus yang ia dapat. Melainkan wajah yang (sekali lagi maaf) rusak iritasi. Hingga sekarang, anaknya sudah dua, bekas iritasi itu masih ada. Tuh kan…

Satu hal yang akhirnya menjadi kesimpulan saya, banyak gadis yang rela berbuat apapun agar dinilai cantik, secara fisik. Seolah telah lupa atau mungkin melupakan, bisa jadi tak mau tahu, bahwa cantik hati itu lebih penting daripada kecantikan fisik.

Harus disadari memang. Peran media peran media dalam membentuk trend di masyarakat sangat besar, terutama televisi. Segala hal yang berkaitan dengan industri fashion, kosmetika, dan entertainment yang diolah sedemikian wah membuat para gadis kebingungan menentukan arah. Kehilangan jatidiri mereka sebagai calon seorang ibu.

Menurutmu, pantaskah seorang calon ibu, pendidik anak, dengan enjoynya berhotpen plus tangtop kemana-mana? Ingat, negeri kita briklim tropis. Pakaian serba kurang bahan lebih cocok dipakai di Paris saat musim panas tiba, coy...

Kalau kita mau bijaksana, mestinya kita lebih selektif memilih berbagai informasi yang disuguhkan media. Bukankah dengan ilmu, kita jadi bisa membedakan mana yang layak dan mana yang tidak ?!

Ingatlah ibu Kartini, pahlawan perempuan yang tidak hanya berparas ayu, tapi hatinya juga mulia. Dengan buah pikirannya, Ia telah membuktikan betapa wanita Indonesia pantas disandingkan dengan pria. Disejajarkan martabatnya.

Dalam kesederhanaan sekapnya, tersimpan cita-cita mulia untuk meningkatkan kualitas pendidikan wanita pribumi. Ia yang terkungkung fisiknya oleh peraturan ketat kalangan ningrat, mampu memerdekakan pikirannya. Berbuat sesuatu demi kepentingan kaumnya.

Ia yang rela dijodohkan dengan Bupati beristri 3 beranak 6 tidak mau begitu saja menyerah pada nasib. Bukan membangkang, namun berpikir positif. Dengan menjadi istri Bupati ia akan memperoleh kesempatan mendirikan sekolah bagi wanita pribumi.

Hingga di usia pernikahannya yang ke-10 bulan, ia meninggal, setelah melahirkan anak laki-laki. Ia meninggal 3 hari setelah melahirkan karena pendarahan akibat besarnya janin.

Sungguh sosok wanita yang luar biasa. Ia yang lahir dengan kodrat wanita, memiliki cita-cita besar terhadap kaumnya. Walau begitu, ia tak lantas melupakan tigasnya sebagai sosok seorang ibu. Ibu yang berjuang dalam melahirkan anaknya dengan nyawa sebagai taruhannya.

Maka tidak berlebihan bila tanggal kelahirannya diperingati setiap tahun. Sebuah lagu yang indah diciptakan untuknya. Puluhan tahun telah lewat, idenya tak juga usang dikikis masa.

Itulah bedanya, cantik fisik dengan cantik kepribadian. Terbukti sudah, mana yang lebih penting dan awet. Nah, apakah sekarang kamu bisa menyimpulkan sendiri seperti apa kriteria cantik itu?


Penulis adalah asli orang Blitar. Lahir dan didewasakan di Blitar. Kini sedang menyelesaikan kuliahnya di sebuah Universitas swasta di Blitar jurusan Ilmu komunikasi. Bisa dihubungi di E-mail / face book : bening_firdaus@yahoo.com

suber gambar : http://sweetrabbit.files.wordpress.com

sebuah catatan


Aku adalah seorang yang yang lahir dari keluarga berpenghasilan minim. Ingat, minim! Sehingga "besar pasak daripada tiang" begitu kental menyelimuti kehidupan kami. Untuk itulah aku, dengan dukungan keluarga tentunya, berkeinginan merubah nasib. Meningkatkan taraf kehidupan keluarga kami.

Untungnya, walau dengan jatuh-bangun-terlempar-terpental berkali-kali, ibuku nekad menyekolahkanku. Tujuannya pasti, aku jadi orang berilmu, berguna bagi sesama dan tentunya berpenghasilan lumayan. Itulah harapan orangtuaku yang kemudian menjadi motivasiku untuk tak pernah usai dahagaku mereguk ilmu.

Dipilihlah kampus *** sebagai sarang madu ilmu, tempatku bergelut dengan aksara berkabut selimut makna. Bayanganku awal (lebih tepatnya perkiraan), bahwa: "Universitas manapun baik, yang penting serius belajar, pasti hasilnya juga bagus," sedikit meleset. *** yang kupilih dengan alasan murah, meriah, dekat dengan rumah, ternyata kerap membuatku jengah. Tak hanya minimnya fasilitas yang ada (untuk yang satu ini aku tidak protes, lha wong SPP saja gratis), tapi tidak semua dosen benar-benar kompeten di bidangnya.

Tak jarang dosen mengajar hanya sekedar nggugurne kewajiban-nya sebagai pengajar. Sehingga apa yang disampaikannya, apa yang hendak dicapai oleh mahasiswanya (target), terkesan serampangan. Tanpa persiapan. Bisa jadi tanpa tujuan!

Sempat aku kaget dengan keadaan ini. "Wah, kalau begini keadaannya, bagaimana dengan nasibku nantinya?," pikirku waktu itu. Berbagai pikiran negatif tentang masa depan akibat kondisi kampusku perlahan menggerayangi nalarku, menabur benih pesimis dalam hatiku. Hingga suatu saat ada bisik nakal (entah dari mulut setan mana) menggodaku, "Apa mungkin aku bisa memenuhi harapan orangtuaku?", "Bisakah aku berhasil (sukses) dengan kacaunya system di kampusku? Sementara lulusan Universitas negri yang (kira-kira) lebih baik system pendidikannya saja banyak yang nganggur. Apalagi aku, ah.."


***

Suatu hari, kekalut-ruwetan gelut pikirku kusampaikan kepada salah seorang dosen muda melalui surat elektronik. Hampir segala hal yang menjadi momok dalam pikiranku, mengenai kampus&masa depan, kutumpahkan dalam surat.
Aku tak berharap banyak dia mau menjawab kesahku. Tulisanku dibaca saja, aku sudah sangat bersyukur. Seumpama tidak dibaca pun, aku takkan kecewa. Ya, setidaknya bebanku lumayan berkurang.

Namun ternyata dugaanku keliru. Aku dibalas! Tidak itu saja yang membuatku serasa ingin melompat dan teriak Yes! (untung waktu itu aku sadar ada di warnet. Hehehe..). Jawabanya mampu melumerkan belenggu dalam otakku, mendongkrak nyaliku, memompa semangatku, menyulut percik asa dalam hidupku. Barangkali terdengar berlebihan, tapi aku jujur. Sungguh, jika dia di depanku saat itu, akan kusungkemi dia beberapa lama. Kutraktir dia makan di warteg sepuasnya. Walau aku harus berhutang untuk mentraktirnya.

Tulisan itu, jawaban darinya (tak usah kuceritakan semuanya, terlalu panjang) mambuatku sadar. Apapun keadaannya, asal punya tekad, keberhasilan bisa diraih! "Sistem hanyalah penunjang. Bukan syarat mutlak keberhasilanmu," begitu secuil nasihatnya yang terpatri menjadi mindsetku sampai sekarang. Kata-katanya dalam inbox kotak sutrat pribadiku kucetak dan kupajang persis di atas meja belajarku. Agar setiap saat aku ingat, tambah semangat, bahwa workhard sanggup menggerus halangrintang menjadi serpih remeh temeh.

Sejak saat itu, aku tak peduli lagi dengan kacaunya system di kampusku. Aku hampir tak peduli lagi dengan laku dosenku yang (maaf) kurang bermutu. Itu semua, bila kupikir-renungkan hanyalah alasan penghambat kemajuan. Toh masih ada dosen import yang kwalitasnya lumayan. Dengan kekurangsempurnaan penyampaian pengetahuan, toh Perpus BK di kota Blitar selalu siap membantuku mengobati dahaga ilmu.

***

Segala hal tidak mungkin terjadi karena kebetulan, murni unsur ketidaksengajaan. Semua telah diperhitungkan sangat matang. Dengan pertimbangan sangat jeli oleh Sang Maha Perencana, Maha Bijaksana.

Jatuh itu biasa. Bukan jatuhnya yang mesti desesali, tapi pikir dan lakukan: "secepatnya bangkit dan berlari". Itulah episode hidup. Selalu berubah, agar tidak monoton dan terasa indah. Tentu, jika manusia mau balajar melalui tetes hikmah.


Penulis adalah asli orang Blitar. Lahir dan didewasakan di Blitar. Kini sedang menyelesaikan kuliahnya di sebuah Universitas swasta di Blitar jurusan Ilmu komunikasi. Bisa dihubungi di E-mail / face book : bening_firdaus@yahoo.com

suber gambar : http://portalwongsukses.files.wordpress.com

tentang menulis cerpen

menulis cerpen ternyata gmpg2 syusyah. tp asalkan itu dianggap sbg hobi, enjoy aja lagee..
menurut anda?

Kaum penyembah A

Kulihat lagi Ka-Ha-Es yang kuterima beberapa minggu lalu. Entah kenapa, perasaanku datar-datar saja. Tak seperti ekspresi kebanyakan teman lain yang bernilai lumayan. Ketika abjad A dan B memonopoli Ka-Ha-Es mereka.

Masih kuingat samar-samar. Setiap wajah yang menggurat rasa sumringah. Menatap nilai dengan senyum merekah. Tatapan mereka pasti. Dengan dada membusung meninggi. “Heh. Nasib baik tlah kugenggam!”, begitulah makna tatapan yang coba kuterjemahkan.

Ya. Begitulah realitanya. Kepuasan meraih nilai A dan B menjadi puncak kepuasan kuliah. Hingga mereka seolah lupa, atau memang tak mau tahu bagaimana mereka mendapatkan nilai itu. Titip absen, copy paste tugas teman, hingga mencontek di waktu ujian dianggap wajar. Menjadi hal lumrah. Walau sebenarnya salah kaprah. Semua demi nilai. Tanpa sadar, mereka telah membohongi diri sendiri.

Trenyuh aku melihatnya.

Mengapa mereka begitu mendewa-dewakan abjad A atau B? Hingga arti sekolah tidak benar-benar mereka pahami. Bukankah memahami setiap pemikiran para pemikir besar, mencerna ilmu, jauh lebih nikmat dan bermanfaat? Dibanding sekedar mengoleksi hurf A besar.

Apakah mereka pikir, nilai A berderet di selembar ijazah kelak sanggup menolong? Apakah cukup bermodal titel, mereka merasa bisa survive dalam kehidupan?

Kawan. Boleh kau catat kata-kataku ini. Jangan sekali-kali kalian mau bersusah payah. Berangkat pagi, pulang mejelang sore. Jika niat kalian, kelak 4 tahun lagi selembar ijazah ada dalam genggaman. Hidup ini terlalu keras ditaklukkan hanya dengan selembar ijazah usang.

Tiba-tiba aku semakin trenyuh melihat keadaan. Menatap Ka-Ha-Es ku. Lalu berpaling menatap cermin di depanku. Ternyata, aku sama saja seperti mereka itu!


Penulis adalah asli orang Blitar. Lahir dan didewasakan di Blitar. Kini sedang menyelesaikan kuliahnya di sebuah Universitas swasta di Blitar jurusan Ilmu komunikasi. Bisa dihubungi di E-mail / face book : bening_firdaus@yahoo.com