Kiat Mencari Inspirasi Penulisan (fiksi) ala Pengarang Kenamaan


Anda mungkin merasa kagum kepada beberapa penulis fiksi yang terkenal karena begitu produktif menghasilkan karya. Kelihatannya, mereka begitu enteng menelorkan karya baru dalam waktu yang relatif singkat. Sementara Anda, jangankan produktif, satu karya pun belum juga tercipta.

“Apa sih yang mereka lakukan untuk mencari sebuah inspirasi cerita?”

Pasti itu yang Anda tanyakan! Wah, berarti klop sekali dengan yang akan saya bahas selanjutnya. (Hehe,.Saya sok tahu ya?!)

Baiklah, langsung saja ke inti bahasan. Apa yang akan saya bagikan di sini merupakan pengalaman beberapa pengarang dalam mencari ide penulisan. Siapa tahu Anda berminat, lalu tergugah untuk mempraktekkannya. Kalau pun tidak, sekurang-kurangnya Anda akan tahu bagaimana mereka mencari inspirasi. Apa yang mereka lakukan agar muncul letupan ilham penulisan.



  1. Melakukan Perjalanan

    Dalam melakukan sebuah perjalanan, sering seorang pengarang mengalami peristiwa, atau hanya melihatnya saja, yang kemudian menginspirasinya untuk menulis cerita. Walau itu cuma terjadi sekilas, sepintas lalu.

    Cara ini lah yang menjadi favorit Arswendo Atmowiloto, penulis buku Mengarang itu Gampang, dalam mencari benih ilham tulisan-tulisannya. Saking gemarnya melakukan perjalanan, ia merasa tidak betah untuk berada di belakang meja selama dua bulan.

    Ernest Hemingway, sastrawan negeri Paman Sam, punya cara lebih ekstrem lagi demi mendapat ilham. Ia nekad berlayar sendirian, hingga terciptalah karya fenomenalnya, The Old Man and the Sea.

    Bagi Anda yang suka jalan-jalan, tak ada salahnya cara ini anda coba.



  2. Membaca

    Membaca dan menulis adalah dua aktifitas intelektual yang saling melengkapi,”begitu kata Hernowo, seorang penulis sekaligus editor. Saya setuju sekali dengan pedapat itu. Bacaan, menurut saya, seumpama amunisi untuk mengisi senapan penulis, yang berwujud pena. Semakin banyak membaca, senapan seorang penulis akan semakin terisi oleh amunisi yang siap untuk diletuskan menjadi tulisan. Tinggal dar-dor-dar-dor saja. Ibaratnya seperti itu.

    Beberapa pengarang juga melakukan hal ini. Bahkan mereka dengan terang mengakui telah “mencuri” sebagian kata / kalimat dari karangan milik orang lain.

    Fyodor Dostoyevski dalam Notes From Underground pernah menulis, “Andaikan aku seekor serangga”. Sementara pengarang lain, Franz Kafka terinspirasi oleh kalimat itu dan menulislah cerita berjudul The Metamorphosis, yang di dalamnya ada kalimat: ”Pada suatu pagi, saat Gregor Samsa terbangun dari mimpi buruknya, dirinya telah berubah menjadi seekor serangga besar di tempat tidurnya.”

    Saya sendiri pernah terinspirasi oleh sebuah cerita dari kisah di sebuah buku bernuansa religius, dan menulis sebuah cerpen.

    Banyak juga pengarang yang “menata-ulang” sejarah dalam karya fiksinya. Lho kok? Jangan lho. Tentu yang dimaksud di sini tidak mengubah peristiwa. Melainkan membuat peristiwa sejarah menjadi lebih colourful dengan mengungkapkan setiap detailnya. Bingung?

    Lebih jelasnya begini. Misalkan Anda mau menulis cerita fiksi yang berlatar pembacaan teks proklamasi kemerdekaan RI. Anda memasukkan seorang tokoh, bocah gundul yang megap-megap karena lehernya terjepit di antara lengan orang dewasa gara-gara kepingin melihat Bung Karno dari jarak dekat. Itu boleh. Tapi akan lain urusannya bila Anda, misal, menulis bahwa teks proklamasi sebenarnya yang membaca adalah Bung Hatta dan dibaca tanggal 12 Desember 1945. Itu ngawur namanya.

    Bagi Anda yang kutu buku, cara ini mungkin pas buat Anda.



  3. Ngobrol dengan Orang Lain

    Nah, ini berita gembira bagi Anda yang punya budaya lisan sangat kuat, dengan kata lain suka ngobrol. Juga Anda yang suka nongkrong. Karena dari obolan-obrolan yang Anda lakukan, itu bisa menjadi sumber ide penulisan.

    Mulai sekarang, coba simak baik-baik ketika teman Anda sedang “mendongeng”. Siapa tahu ada konflik dari apa yang ia ceritakan dan bisa digarap menjadi sebuah cerita fiksi.

    Tapi saya sarankan, frekuensi menulis Anda harus lebih banyak dari nongkrong. Jika tidak, salah-salah Anda malah jadi ahli nongkrong. Bukan ahli mengarang.



  4. Pengalaman Sehari-hari

    Kehidupan nyata sehari-hari seorang pengarang sering mewarnai cerita yang mereka ciptakan. Karena memang, mereka mendapat inspirasi dari kehidupan mereka sendiri.

    Ambil contoh. Beberapa tulisan cerita mengenai pengalaman dokter tercipta dari tangan Marga T. dan Mira W. yang memang berprofesi sebagai dokter. Juga Ashadi Siregar yang tulisannya berkutat mengenai dunia kampus, di mana ia sendiri memang seorang dosen.

    Silakan merekayasa pengalaman Anda sehari-hari menjadi cerita fiksi. Siapa tahu, kelak akan muncul karya hebat yang menyangkut pautkan makanan di setiap karyanya. Ini jika (misalkan) Anda, si penulisnya, adalah anak tukang warung. Bisa saja to.



  5. Menggali dari Kisah Masa Kecil

    Tentu Anda sudah tak asing lagi dengan nama Andrea Hirata yang sukses dengan tetralogi Laskar Pelangi-nya itu. Di novelnya yang pertama, Andrea begitu lincah menceritakan para tokoh yang unik. Itu karena memang yang ia ceritakan adalah sahabat-sabatnya sendiri di masa kecil.

    Pengarang luar negeri yang terinspirasi oleh pengalaman masa kecil adalah Leo Tolstoy yang tenar di usia dua puluh dua saat menulis triloginya, Childhood, Boyhood, Youth. Juga Mark Twain yang menggunakan pengalaman masa kecilnya sebagai bahan menulis Huckleberry Finn.

    Jika Crisye pernah menyenandungkan, “Masa-masa paling indah…Masa-masa di sekolah…”. Benar kiranya. Tapi saya ingin menambahi, bahwa masa-masa paling mengesankan (baca : tak terlupakan) adalah masa kecil kita.

    Bagaimana dengan masa kecil Anda?



  6. Melamun

    Ternyata bagi seorang pengarang, melamun juga ada manfaatnya lo. Ya, apalagi kalau bukan untuk mencari inspirasi. Karena memang, aktifitas melamun berhubungan erat dengan berkhayal yang bermuara pada berimajinasi *alah*.

    Kenyataanya, ada juga pengarang yang menggunakan teknik melamun ini ketika hendak menulis cerita. Adalah Ali Akbar Navis atau yang lebih akrab dengan A. A Navis, penulis cerpen Robohnya Surau Kami, sering dapat ilham penulisan ketika jongkok di kakus. Jangan tertawa! Ini dia sendiri yang ngaku.



  7. Tidur dan Bermimpi

    Nah, ini dia berita gembira lagi bagi Anda yang gemar molor. Ternyata ada pengarang yang menjadikan mimpi sebagai ilham penulisan. Walau pun sangat mungkin ia tak hobi tidur.

    Robin Hemley, pengarang The Last Studebaker dan All You Can eat, mengakui bahwa sumber ceritanya adalah mimpi-mipinya.

    Jika Anda mau menuliskan mimpi-mimpi Anda menjadi cerita fiksi, tentu hobi Anda akan lebih berguna bukan? Dan pastinya jauh lebih bermartabat serta halal daripada Anda meramal mimpi Anda, lalu pasang nomer togel. Hehe,..



Itulah beberapa cara para pengarang dalam mencari inspirasi karangan mereka. Sekali lagi saya ulangi kalau cocok, silakan pilih dan mencobanya. Kenapa saya bilang kalau cocok? Karena resep yang sama belum tentu ces pleng untuk pasien yang berbeda. Artinya, pengalaman seseorang belum tentu pas dijalani oleh orang lain. Tapi setidaknya, dari pengalaman orang lain yang mencerahkan, semoga bisa menumbuhkan semangat menulis Anda.

Dan yang tak kalah penting, Anda harus menyiapkan batin Anda untuk setiap saat menerima inspirasi. Ibaratkan batin kita sebagai antena. Sementara inspirasi, berupa sinyal yang terus memancar (tanpa henti), di mana pun tempatnya. Jika antena kita sudah siap menerima sinyal, maka apa apa pun cara yang Anda gunakan (bisa jongkok, tengkurap, kungkir balik, terserah!) sinyal akan mudah ditangkap. Sekecil apa pun itu.

Jika inspirasi sudah dalam genggaman, Anda tinggal memolesnya saja menjadi tulisan.

Nah, semoga yang sedikit ini bisa bermanfaat.
Selamat mengarang.

Ahmadinejad, The Real Leader

Sedikit ragu sebenarnya saya mau menulis ini. Karena saya mau tak mau akan bicara tentang politik. Padahal blog saya ini tak ada hubungannya dengan dunia perpolotikan.

Tapi saya pikir, ah kenapa tidak. Tokoh yang akan saya tulis adalah seorang yang Luar Biasa (setidaknya menurut saya). Saya pribadi sangat mengaguminya. Tidak menutup kemungkinan, ia akan menjadi inspirasi siapa pun yang mau mengenalnya, setelah membaca postingan saya nanti.

Oke langsung saja. Siapa yang tak kenal Mahmoud Ahmadinejad, presiden terpilih pada pemilu ke-enam Iran (2005), dan terpilih lagi di pemilu berikutnya (2009). Semenjak menduduki jabatannya yang pertama, ia seolah selalu menjadi news maker di dunia internasional. Berbagai “ulah” yang membuatnya jadi kontroversi antar lain : Ia berkeras bahwa Iran berhak mengembangkan teknologi nuklir, seperti halnya Eropa menernakkan reaktor. Dengan berani, dia menyebut Amerika sebagai “preman”. Dan tanpa tedeng aling-aling, ia meminta orang sedunia bersatu padu menggulingkan rezim Zionis di Tel Afiv, Israel.

Kalau cuma itu, tentu saya tak mau repot-repot membahasnya. Tapi saya akan menunjukkan kepada Anda beberapa keunikan yang membuat Ahmadinejad dipandang sebagai sosok Presiden yang unik, bahkan tidak lumrah untuk ukuran “orang besar”, sebelum dan ketika ia memimpin Iran. Keunikan itu adalah :

  1. Ahmadinejad bukan politikus kubu kiri maupun kanan. Bahkan ia samasekali bukan politisi. Tanpa rencana matang membangun basis politik perjuangan kepartaiannya, yang seringkali sarat intrik, persaingan, dan money politic.

  2. Ahmadinejad bukan ulama, tapi berhasil menjadi pemimpin di negeri mullah setelah mengalahkan kandidat mullah.
  3. Sejak Revolusi Islam 1979, kegiatan politik di Iran didominasi kaum bersorban. Dari lima kali pemilu, rakyat Iran seolah selalu menomorwahid-kan kandidat pemimpin dari kalangan ruhaniawan atau mereka yang punya afiliasi ke kalangan ruhaniawan di lingkungan dekat Imam Khomeini (tokoh pencetus Revolusi Islam Iran).

  4. Ahmadinejad bukan pengusaha yang umumnya secara “ajaib” bisa jadi pemimpin.
  5. Ia hanya seorang doktor ilmu transportasi.

  6. Ahmadinejad bukan perwira militer yang bisa membangun jaringan kuat dalam institusi militer yang memungkinkannya masuk dalam kancah politik, apa pun resiko dan bagaimana pun caranya.


  7. Ahmadinejad bukan bangsawan / anak pahlawan yang disegani sehingga dengan mudah meraih simpati, meski tak berpendidikan secara maksimal.
  8. Ia lahir dari bapak seorang pandai besi.

  9. Ahmadinejad tidak bertubuh besar, berpenampilan necis, apalagi rupawan. Beberapa poin yang terkadang menjadi faktor non teknis masa kampanye di Indonesia.
  10. Di sebuah kesempatan temu-muka dengan kalangan mahasiswa Teheran, bahkan ia mengakui sendiri bahwa, “(Saya memang tak punya tampang seorang Presiden). Tapi saya punya tampang seorang pelayan. Dan saya hanya ingin jadi pelayan rakyat”.

  11. Ia tak pandai berdiplomasi (baca : menyusun kata-kata yang ambigu, bersayap, dan bertele-tele). Bahkan ia terkadang geli melihat prosedur protokoler kepresidenan yang umumnya glamour, formal, dan angker.
  12. Kekhasan gaya bicaranya yang to the point juga nampak, sesaat setelah pelantikannya menjadi presiden Iran. Dalam sebuah pertemuan diplomatik (September 2005) yang berlangsung di Markas Besar PBB, ia “dikeroyok” beberapa utusan Eropa. Tak tanggung-tanggung, mereka yang sedang bersatu “menasehati” Ahmadinejad antara lain : Menlu Inggris (Jack Straw), Prancis (Philippe Douste Bazy), dan Jerman (Joschka Fischer). Namun secara mengejutkan, ahmadinejad menegaskan, “Jangan berani-berani mengancam kami dengan dengan segala rupa sanksi atau kalian akan menyesalinya,” setelah para perwakilan Eropa itu membeberkan kemungkinan dijatuhkannya sanksi PBB atas Iran akibat program pengayaan uraniumnya. Logikanya sangat sederhana, tapi mengena, “Bila nuklir itu berbahaya, mengapa ada pihak yang dibiarkan menggunakannya? (Tapi) Bila nuklir itu berguna, mengapa ada pihak yang tidak diperbolehkan menggunakannya?”

  13. Ahmadinejad masih relatif muda, pekerja keras, punya loyalitas tinggi kepada negara, bangsa, juga ideologinya. Sehingga ia tak pernah panik menghadapi ancaman asing, apalagi sibuk mengklarifikasi tuduhan “fundamentalis” dan semacamnya.
  14. Loyalitasnya kepada masyarakat ia buktikan, ketika menjabat walikota Teheran, sebelum terpilih menjadi presiden, ia merelakan rumah dinasnya digunakan sebagai museum publik. Sementara ia pilih tinggal di rumah pribadinya yang sederhana.
    Ia juga memperpanjang sendiri jam kerjanya dari pagi hingga menjelang maghrib dan melanjutkan kerja di rumahnya hingga pukul 12 malam. Agar siapa pun warga bisa mengadu langsung padanya, dengan masalah apa pun.
    Ia juga bangga bisa menyapu sendiri jalan-jalan kota, dan tanpa segan turun dari mobilnya demi membersihkan selokan yang mampet. Dengan tangannya sendiri.

  15. Walau orang sudah menjadi orang “penting”, ia tetap hidup secara sederhana.
  16. Ketika menjabat walikota, ia tinggal di gang buntu. Bersepatu butut dan itu-itu terus, bolong di sana-sini, mirip yang dipakai tukang sapu jalan di belantara Jakarta. Mobilnya Peugeot keluaran tahun 70an.

  17. Dan yang paling penting, ia bebas KKN.

Itulah sosok Ahmadinejad yang unik (sebagian orang mungkin mengatakannya aneh). Tapi bagi saya, ia merupakan pribadi yang sangat inspiratif. Kepribadian seorang pemimpin bangsa yang semakin hari semakin langka keberadaannya. Namun semakin dicari dan dibutuhkan.

Lalu saya berandai-andai, jika saja Indonesia yang kaya sumber daya ini punya pemimpin seperti dia, pasti Indonesia bisa cepat keluar dari krisis dan maju dengan lebih cepat. Tapi pertanyaannya, mungkin nggak ya? Menurut Anda?

Disarikan dari buku AHMADINEJAD! David di Tengah Angkara Goliath Dunia. Karya Muhsin Labib, Ibrahim Muharam, Musa Kazhim, Alfian Hamzah.

Mengarang Itu Gampang


Begitulah judulnya. Sangat singkat, sederhana, jelas, dan provokatif. Penulisnya Arswendo Atmowiloto. Dedengkot penulis Indonesia berambut gondrong yang khas dengan gaya ceplas-ceplosnya itu.

Sejak membaca kata pengantar, saya (mungkin juga anda) sudah tergoda untuk segera mulai menulis. Mengarang maksudnya.

Begitu masuk ke isi, kita akan disuguhi secara gamblang tentang bagaimana menggarap ilham menjadi ide, membentuk plot, menciptakan tokoh, menyetting tempat, menyisipkan tema, hingga lahirnya karangan. Sebuah tulisan fiksi.

Tak sampai di situ, Arswendo juga mengulas hal yang mungkin dianggap remeh bagi sebagian orang, padahal penting dan berpengaruh jika ingin karangan kita diterima media, yaitu cara menulis yang baik (patuh ejaan dan rapi). Ia juga membolehkan, bahkan menganjurkan, agar seorang pengarang berani mencipta bahasa baru yang belum tercatat di kamus sekalipun. Artinya, ia tidak hanya ngomong seputar membikin karangan doang. Tapi juga cara kerja seorang seniman, mengexplore kreatifitas namun tetap berada di jalur yang benar.

Tak lupa, teknis pengiriman karangan ke media atau penerbit, ia terangkan secara rinci : ukuran kertasnya, margin berapa, aturan bikin paragraf yang harus menjorok ke dalam, bagaimana menulis alamat, mengunakan prangko. Pokoknya komplet deh. Untuk sebagian orang, mungkin ini dianggap cerewet. Tapi menurut saya, justru ia ingin menunjukkan hal-hal “sepele” yang sebenarnya berpengaruh terhadap diterima-tidaknya sebuah karangan di meja redaksi. Ia berkata berdasar pengalaman, bukan hanya teori yang belum dipraktekkan.

Tentang peluang kerja yang bisa dimasuki seorang pengarang, sistem pembayaran honor seorang pengarang, sampai kenapa banyak seniman berdandan nyentrik pun disenggolnya pula. Walau porsinya cuma sedikit.

Singkatnya, ia tak hanya mengulas tuntas perihal karang-mengarang, tapi juga bagaimana kehidupan seorang pengarang dan bagaimana ia dihidupi hasil karangannya. Lebih tepatnya, ia bicara tentang dunia kepengarangan secara hampir menyeluruh.

Buku ini cukup inspiratif dan praktis. Saya teringat buku sejenis yang juga membahas teknik menulis karangan (fiksi), Berguru Kepada Sastrawan Dunia karya Josip Novakovich. Dibanding buku Josip yang terjemahan (bahasa aslinya Inggis), Mengarang Itu Gampang lebih bisa dinikmati karena memang panulisanya asli orang kita. Sehingga bahasanya bernuansa Indonesia asli. Bahasa keseharian yang telah akrab di telinga kita.

Format penulisan buku yang dirancang dalam bentuk tanya-jawab, akan memuaskan rasa ingin tahu pembacanya, dan biasanya akan merangsang untuk melontarkan pertanyaan lanjutan. Di sela-sela penjelasan teknis, Arswendo selalu menyertakan contoh. Dengan maksud agar mudah dipahami pembaca, apa yang sedang ia omongkan.

Arswendo piawai meramu materi teknis dan mengemasnya dengan bahasa yang cair dan komunikatif. Membuat pembaca tak perlu sampai mengerutkan kening untuk memahaminya. Beberapa tulisan diselingi humor dengan gaya khasnya yang sedikit “nakal”, membuat pembacanya tetap fresh dari sejak halaman pertama hingga akhir kalimat. Arswendo banget lah!

Maka sudah sepantasnya jika buku setebal 118 halaman ini laris di pasaran. Terbukti sejak cetak perdana tahun 1982, Gramedia telah mencetak ulang beberapa kali (buku yang saya baca adalah cetakan ke delapan, tahun 2003). Tidak menutup kemungkinan hingga sekarang dan beberapa waktu ke depan akan mengalami cetak ulang lagi.

Bagi anda yang tertarik untuk mempelajari teknis penulisan fiksi, atau bercita-cita menjadi penulis fiksi, saya sarankan untuk membaca buku ini. Walau Arswendo mengakui sendiri bahwa : “Buku semacam ini tidak berpretensi untuk melahirkan pengarang-pengarang...”. Tapi ia ingin menunjukkan, “…Bahwa mengarang juga pekerjaan yang mulia. Jauh lebih mulia dari menganggur dan sekedar berangan-angan tanpa menuliskan.”

Selamat mengarang.