Sudahkah kamu merasa cantik?

Cantik itu berarti kulitnya putih, rambutnya lurus, badannya langsing. Benarkah demikian ? Itukah kriteria cantik menurutmu?

Pasti kamu sudah nggak asing lagi dengan iklan pemutih wajah yang bisa memutihkan hanya dalam 7 hari. Atau shampo yang mampu yang mampu membuat pemakainya digilai 9 dari 10 pria. Serta masih banyak lagi iklan yang intinya memoles keindahan fisik.

Itulah mengapa mayoritas remaja, satu suara dalam merumuskan kriteria cewek ideal. Kulit putih, rambut lurus terurai, tubuh langsing, dan bebas jerawat. Lainnya mungkin tak sama persis, tapi serupa.

Saya yakin, pembaca artikel inipun setuju dengan kriteria cantik (versi iklan) di atas. Bahkan saya juga yakin, di antara para para pembaca artikel ini tak jarang adalah pemakai setia produk kecantikan itu. Tak peduli berapapun usianya, tanpa mempertimbangkan latar belakang sosial masing-masing. Entah itu orang kota, desa, atau gunung sekalipun (maaf, bila ada yang tersingggung..hihi..). Benarkah begitu ? Silakan dijawab sendiri-sendiri.

Tahukah kamu, banyak diantara para cewek yang saking gilanya dengan konsep cantik rela tersiksa hingga meregang nyawa ? Nggak percaya ?

Ana Carolina Reston, fotomodel top Brazil yang namanya meroket di usia yang masih terbilang belia, 21 tahun, begitu terkenal dengan kecantikannya. Pada 14 November 2006 lalu, ia meninggal di Sao Paulo karena infeksi yang menyerang tubuhnya akibat anoreksia nervosa¬_gangguan psikologis yang menyebabkan ia tak mau makan agar nampak selangsing mungkin.

Ketika maninggal, berat badannya hanya 40 kg. Kata dokter, itu berat badan ideal untuk bocah 12 tahun dengan tinggi 152 cm, bukan untuk Ana yang tingginya 172 cm! Ibunya mengaku, sejak 2 bulan sebelum kamatiannya, Ana hanya makan apel dan tomat! Wuihh..gila nggak tuh..

Bukan hanya itu. Sebelum Ana, Luisel Ramos fotomodel asal Uruguay juga meninggal saat fashion show karena gagal jantung. Lagi-lagi penyebabnya adalah diet yang terlalau ketat. Semua demi kecantikan!

Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Jika dua contoh di atas (Ana dan Luisel) mati-matian diet agar masuk standard cantik, di sebuah negeri di Afrika lain lagi.

Di kota Nonakchott, Mauritania, standard cantik adalah gemuk. Maka jangan heran bila melihat seorang bocah perempuan yang dipegangi ayahnya sementara sang ibu tanpa ampun mencekoki susu manis dan bubur. Tujuannya pasti, agar sang anak kelak menjadi cantik. Ironis memang, tapi itu nyata.

Asal tahu saja, di negeri yang mayoritas penduduknya masih nomaden ini orang-orangnya miskin dan kurus. Sehingga mereka berasumsi; gemuk berarti makmur. Semakin gemuk wanita, semakin seksi-lah namanya, sosok wanita ideal.

Tak perlu jauh-jauh. Saya sempat mempunyai seorang rekan yang (maaf) wajahnya rusak karena iritasi kosmetik. Penyebabnya sepele, sekaligus nekat menurut saya. Betapa tidak. Ia yang begitu terobsesi dengan kecantikan, nekat menggunakan kosmetik (sejenis penghilang jerawat) yang seharusnya belum boleh ia pakai. Seingat saya, ia menggunakannya ketika masih SMP, secara berlebihan pula.

Hasilnya, bukan kulit halus mulus yang ia dapat. Melainkan wajah yang (sekali lagi maaf) rusak iritasi. Hingga sekarang, anaknya sudah dua, bekas iritasi itu masih ada. Tuh kan…

Satu hal yang akhirnya menjadi kesimpulan saya, banyak gadis yang rela berbuat apapun agar dinilai cantik, secara fisik. Seolah telah lupa atau mungkin melupakan, bisa jadi tak mau tahu, bahwa cantik hati itu lebih penting daripada kecantikan fisik.

Harus disadari memang. Peran media peran media dalam membentuk trend di masyarakat sangat besar, terutama televisi. Segala hal yang berkaitan dengan industri fashion, kosmetika, dan entertainment yang diolah sedemikian wah membuat para gadis kebingungan menentukan arah. Kehilangan jatidiri mereka sebagai calon seorang ibu.

Menurutmu, pantaskah seorang calon ibu, pendidik anak, dengan enjoynya berhotpen plus tangtop kemana-mana? Ingat, negeri kita briklim tropis. Pakaian serba kurang bahan lebih cocok dipakai di Paris saat musim panas tiba, coy...

Kalau kita mau bijaksana, mestinya kita lebih selektif memilih berbagai informasi yang disuguhkan media. Bukankah dengan ilmu, kita jadi bisa membedakan mana yang layak dan mana yang tidak ?!

Ingatlah ibu Kartini, pahlawan perempuan yang tidak hanya berparas ayu, tapi hatinya juga mulia. Dengan buah pikirannya, Ia telah membuktikan betapa wanita Indonesia pantas disandingkan dengan pria. Disejajarkan martabatnya.

Dalam kesederhanaan sekapnya, tersimpan cita-cita mulia untuk meningkatkan kualitas pendidikan wanita pribumi. Ia yang terkungkung fisiknya oleh peraturan ketat kalangan ningrat, mampu memerdekakan pikirannya. Berbuat sesuatu demi kepentingan kaumnya.

Ia yang rela dijodohkan dengan Bupati beristri 3 beranak 6 tidak mau begitu saja menyerah pada nasib. Bukan membangkang, namun berpikir positif. Dengan menjadi istri Bupati ia akan memperoleh kesempatan mendirikan sekolah bagi wanita pribumi.

Hingga di usia pernikahannya yang ke-10 bulan, ia meninggal, setelah melahirkan anak laki-laki. Ia meninggal 3 hari setelah melahirkan karena pendarahan akibat besarnya janin.

Sungguh sosok wanita yang luar biasa. Ia yang lahir dengan kodrat wanita, memiliki cita-cita besar terhadap kaumnya. Walau begitu, ia tak lantas melupakan tigasnya sebagai sosok seorang ibu. Ibu yang berjuang dalam melahirkan anaknya dengan nyawa sebagai taruhannya.

Maka tidak berlebihan bila tanggal kelahirannya diperingati setiap tahun. Sebuah lagu yang indah diciptakan untuknya. Puluhan tahun telah lewat, idenya tak juga usang dikikis masa.

Itulah bedanya, cantik fisik dengan cantik kepribadian. Terbukti sudah, mana yang lebih penting dan awet. Nah, apakah sekarang kamu bisa menyimpulkan sendiri seperti apa kriteria cantik itu?


Penulis adalah asli orang Blitar. Lahir dan didewasakan di Blitar. Kini sedang menyelesaikan kuliahnya di sebuah Universitas swasta di Blitar jurusan Ilmu komunikasi. Bisa dihubungi di E-mail / face book : bening_firdaus@yahoo.com

suber gambar : http://sweetrabbit.files.wordpress.com

sebuah catatan


Aku adalah seorang yang yang lahir dari keluarga berpenghasilan minim. Ingat, minim! Sehingga "besar pasak daripada tiang" begitu kental menyelimuti kehidupan kami. Untuk itulah aku, dengan dukungan keluarga tentunya, berkeinginan merubah nasib. Meningkatkan taraf kehidupan keluarga kami.

Untungnya, walau dengan jatuh-bangun-terlempar-terpental berkali-kali, ibuku nekad menyekolahkanku. Tujuannya pasti, aku jadi orang berilmu, berguna bagi sesama dan tentunya berpenghasilan lumayan. Itulah harapan orangtuaku yang kemudian menjadi motivasiku untuk tak pernah usai dahagaku mereguk ilmu.

Dipilihlah kampus *** sebagai sarang madu ilmu, tempatku bergelut dengan aksara berkabut selimut makna. Bayanganku awal (lebih tepatnya perkiraan), bahwa: "Universitas manapun baik, yang penting serius belajar, pasti hasilnya juga bagus," sedikit meleset. *** yang kupilih dengan alasan murah, meriah, dekat dengan rumah, ternyata kerap membuatku jengah. Tak hanya minimnya fasilitas yang ada (untuk yang satu ini aku tidak protes, lha wong SPP saja gratis), tapi tidak semua dosen benar-benar kompeten di bidangnya.

Tak jarang dosen mengajar hanya sekedar nggugurne kewajiban-nya sebagai pengajar. Sehingga apa yang disampaikannya, apa yang hendak dicapai oleh mahasiswanya (target), terkesan serampangan. Tanpa persiapan. Bisa jadi tanpa tujuan!

Sempat aku kaget dengan keadaan ini. "Wah, kalau begini keadaannya, bagaimana dengan nasibku nantinya?," pikirku waktu itu. Berbagai pikiran negatif tentang masa depan akibat kondisi kampusku perlahan menggerayangi nalarku, menabur benih pesimis dalam hatiku. Hingga suatu saat ada bisik nakal (entah dari mulut setan mana) menggodaku, "Apa mungkin aku bisa memenuhi harapan orangtuaku?", "Bisakah aku berhasil (sukses) dengan kacaunya system di kampusku? Sementara lulusan Universitas negri yang (kira-kira) lebih baik system pendidikannya saja banyak yang nganggur. Apalagi aku, ah.."


***

Suatu hari, kekalut-ruwetan gelut pikirku kusampaikan kepada salah seorang dosen muda melalui surat elektronik. Hampir segala hal yang menjadi momok dalam pikiranku, mengenai kampus&masa depan, kutumpahkan dalam surat.
Aku tak berharap banyak dia mau menjawab kesahku. Tulisanku dibaca saja, aku sudah sangat bersyukur. Seumpama tidak dibaca pun, aku takkan kecewa. Ya, setidaknya bebanku lumayan berkurang.

Namun ternyata dugaanku keliru. Aku dibalas! Tidak itu saja yang membuatku serasa ingin melompat dan teriak Yes! (untung waktu itu aku sadar ada di warnet. Hehehe..). Jawabanya mampu melumerkan belenggu dalam otakku, mendongkrak nyaliku, memompa semangatku, menyulut percik asa dalam hidupku. Barangkali terdengar berlebihan, tapi aku jujur. Sungguh, jika dia di depanku saat itu, akan kusungkemi dia beberapa lama. Kutraktir dia makan di warteg sepuasnya. Walau aku harus berhutang untuk mentraktirnya.

Tulisan itu, jawaban darinya (tak usah kuceritakan semuanya, terlalu panjang) mambuatku sadar. Apapun keadaannya, asal punya tekad, keberhasilan bisa diraih! "Sistem hanyalah penunjang. Bukan syarat mutlak keberhasilanmu," begitu secuil nasihatnya yang terpatri menjadi mindsetku sampai sekarang. Kata-katanya dalam inbox kotak sutrat pribadiku kucetak dan kupajang persis di atas meja belajarku. Agar setiap saat aku ingat, tambah semangat, bahwa workhard sanggup menggerus halangrintang menjadi serpih remeh temeh.

Sejak saat itu, aku tak peduli lagi dengan kacaunya system di kampusku. Aku hampir tak peduli lagi dengan laku dosenku yang (maaf) kurang bermutu. Itu semua, bila kupikir-renungkan hanyalah alasan penghambat kemajuan. Toh masih ada dosen import yang kwalitasnya lumayan. Dengan kekurangsempurnaan penyampaian pengetahuan, toh Perpus BK di kota Blitar selalu siap membantuku mengobati dahaga ilmu.

***

Segala hal tidak mungkin terjadi karena kebetulan, murni unsur ketidaksengajaan. Semua telah diperhitungkan sangat matang. Dengan pertimbangan sangat jeli oleh Sang Maha Perencana, Maha Bijaksana.

Jatuh itu biasa. Bukan jatuhnya yang mesti desesali, tapi pikir dan lakukan: "secepatnya bangkit dan berlari". Itulah episode hidup. Selalu berubah, agar tidak monoton dan terasa indah. Tentu, jika manusia mau balajar melalui tetes hikmah.


Penulis adalah asli orang Blitar. Lahir dan didewasakan di Blitar. Kini sedang menyelesaikan kuliahnya di sebuah Universitas swasta di Blitar jurusan Ilmu komunikasi. Bisa dihubungi di E-mail / face book : bening_firdaus@yahoo.com

suber gambar : http://portalwongsukses.files.wordpress.com

tentang menulis cerpen

menulis cerpen ternyata gmpg2 syusyah. tp asalkan itu dianggap sbg hobi, enjoy aja lagee..
menurut anda?