Melancong ke Samarinda (#4)

Melihat dari dekat Kampung Pampang, Kampung Budaya Adat Dayak

Di depan rumah adat di Kampung Pampang

Inilah posting terakhir tentang pengalamanku di Samarinda. Pengalaman yang paling kutunggu-tunggu dan menduduki rencana teratas dalam kunjunganku ke kota Samarinda: berkunjung ke kampung budaya Pampang. Kampung budaya adat Dayak.


Harus diakui, tulisan kali ini, meski masih dalam rangkaian tulisan Melancong ke Samarinda, terhitung lambat untuk diposting. Bahkan postingnya pun kulakukan setelah aku berada di Jawa, alias pulang kampung. Mengapa?

Lebih “berhati-hati”. Karena tulisan ini mengenai suku tertentu. Bukan apa-apa, data yang kudapat sedikit sekali. Jangan sampai keliru menyampaikan yang justru bisa menyesatkan dunia ilmu pengetahuan. Hati-hati yang berlebihan itu pula yang membuatku awalnya ragu untuk mempostinya.

Lalu kenapa akhirnya diposting juga?

Sederhana saja. Aku bukan wartawan dan bukan menulis untuk media massa. Mestinya tak perlu terbebani oleh takut berlebihan. Toh tulisanku tidak provokatif. Justru dengan mempostingnya, aku berharap ada masukan atau koreksi, bila ada terdapat data yang kurang tepat. Bukankah blog tempat berbagi?


Dayak atau Daya (ejaan lama: Dajak atau Dyak) adalah kumpulan berbagai subetnis Austronesia yang dianggap sebagai penduduk asli yang mendiami Pulau Kalimantan meliputi Brunei, Malaysia yang terdiri dari Sabah dan Sarawak, serta Indonesia. Indonesia sendiri terdiri dari Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.

Suku bangsa Dayak terdiri atas enam Stanmenras atau rumpun yakni rumpun Klemantan alias Kalimantan, rumpun Iban, rumpun Apokayan yaitu Dayak Kayan, Kenyah dan Bahau, rumpun Murut, rumpun Ot Danum-Ngaju dan rumpun Punan.

Menurut sumber wikipedia, budaya masyarakat Dayak adalah budaya maritim atau bahari. Budaya ini tercermin di hampir semua nama sebutan orang Dayak yang mempunyai arti sebagai sesuatu yang berhubungan dengan "perhuluan" atau sungai. Terutama pada nama-nama rumpun dan nama kekeluargaannya.

Namun komunitas Dayak di Kampung Pampang setiap harinya sudah melakukan aktifitas seperti masyarakat lainnya, sehingga terkadang tidak menampakkan lagi ciri-ciri khusus.

Ukiran corak burung enggang di salah satu sisi
atap rumah adat di Kampung Pampang

Senang bisa melihat langsung komunitas dimana adat Dayak masih dijaga kelestariannya. Namun sedikit kecewa, karena tidak bisa melihat secara langsung aktifitas kesenian seperti menari dan upacara adat lainnya. Karena pada saat kedatanganku, kebetulan sedang ada Musyawarah Besar Adat. Sehingga kegiatan terfokus pada acara itu.

Itulah serba sedikit tulisanku tentang komunitas Dayak. Ada yang ingin berbagi kisah serupa?

Saya tunggu di sini.

Salam petualang!
:)

6 komentar:

hmmm... menarik jo! kapan2 aku jg tak nulis lg ahh.. blogq masih cupu..
sukma.ragil@wordpress.com

 

bener mas sukma. keterampilan menulis harus terus digunakan. karena menulis telah diajarkan kepada kita sejak TK, setelah keterampilan bernyanyi dan membaca. hehe..

 

benar mas sukma. keterampilan menulis harus terus digunakan. mengingat keterampilan itu telah diajarkan kepada kita semenjak TK, setelah keterampilan menyanyi dan membaca. hehe..

 

Ahirnya bisa mampir di Blog si bolang :P
wah sangar mas bro,
selama ini ane cuma bisa lihat di Tv aja ^^

 

@Ale:makasih dah mampir. entah kenapa karakter Bolang blm jg mau hilang. mungkin udah bawaan lahir:-P

 

Posting Komentar