(Masih) Pantaskah Manusia Menjadi Kholifah?

Untuk kesekian kali aku dikeroyok pertanyaan. Mereka menuntutku, menginterogasiku, membetot jawaban dari mulutku.

"Apa arti pintar bagi manusia?!" seloroh yang memukulku telak di ulu hati.
"Apakah dengan kepintaran yang kau punya, kau merasa mampu menjaga bumi Tuhanmu, yang kau akui sebagai milikmu?!" teriak yang mengepit kedua lenganku dengan teriakan pekik di telinga.
"Apakah kalian (manusia) sudah merasa hebat setelah hutan terbabat?!" susul yang menjambakku, sebelum sempat kujawab pertanyan sebelumnya.

Lalu saling timpal pertanyaan-pertanyaan berikutnya yang tak terdengar jelas semuanya. Telingaku perih, dijewer ke kanan ke kiri. Aku merasa nyeri di ulu hati akibat tonjokan yang terasa tembus hingga meremas nyali. Suara-suara itu hanya terdengar berdengung, berjejalan di tempurung kepalaku. Lalu meluber, sebagian mengalir ke relung celah kemanusiawianku. Memprotes keadilan.

Tapi mulut hatiku hanya bisa meringis, tak mampu menjawab satu pun pertanyaan. Dalam batin pun cuma bisa menjawab gagap.

Mata batinku memaksa melek, walau dengan menahan pedih. Melihat kenyataan, bahwa : manusia yang diukir sedemikian indah dan canggih oleh Tuhannya telah dengan brutal merajah-rajah ekosistemnya sendiri. Demi gengsi kebengalan adu nyali dan okolnya, mereka cacah bahtera yang mereka tumpangi bersama. Nalar, terutama nurani, mereka telah lama karatan. Karena terlalu lama dinganggurkan.

Manusia yang seharusnya menjaga laju dan menaungi penumpang lain, justru menggasak sesama (makhluk) secara brutal dengan amuk berkecamuk. Menyebabkan kapal compang-camping. Beberapa penumpang lain terjungkal terhempas. Sementara lainnya pasrah menunggu karam jama'ah.

oh, inikah kemajuan yang sering mereka gembar-gemborkan?
Inikah peradaban yang meraka harap dan nantikan?
Masihkah titel kholifah itu pantas mereka sandang?

Belum sempat ku jawab satu pun pertanyaan, lagi-lagi teriakan mengucur deras menghajarku. Belum sempat ku jawab satu pun! Hingga kini.
Aku keburu pingsan. Dengan jawaban-jawaban gamang yang kembali tertelan.

Penulis adalah asli orang Blitar. Lahir dan didewasakan di Blitar. Kini sedang menyelesaikan kuliahnya di sebuah Universitas swasta di Blitar jurusan Ilmu komunikasi. Bisa dihubungi di E-mail / face book : bening_firdaus@yahoo.com

Hanya Manusia “Super” yang bisa Survive

Semangat, iman, adalah abstrak yang bersifat seperti udara dalam ban sepeda. Kadang penuh, kadang separuh, bahkan hilang samasekali sehingga ban nampak lusuh.

Setelah bergaul dengan si anu, setelah membaca buku itu, sangat mungkin kobar semangatmu tak mampu ditahan hingga mata berpendar pijar.

Namun bisa saja, karena hal-hal sepele tiba-tiba saja hasrat lindap, hilang pula digdaya.

Begitu juga dengan nafsu menulis.

Bila semangat sedang menggeliat mekar-mekarnya, sampai-sampai tangan mengepit pena tak mampu mengiring ide yang terus saja tercurah_muncrat dari benak.

Tapi tak jarang, jika mood benar-benar kering, bikin catatan kecil pun malas.

Sangat benar kiranya, seorang "juara"_manusia di atas rata-rata_macam Nabi Muhammad SAW, Soekarno, Sutan Syahrir, dokter Sutomo, Gandhi begitu dikenang hingga berabad lewat. Bukan penampilan necisnya tentu. Tapi buah pikirannya yang selalu relevan menembus jaman.

Mereka mampu mengolah emosi. Menjaga liukan nyala semangat dalam jiwa dan pikirannya. Mengatur tingkah lakunya. Dan juga mengendalikan nafsu sedemikian rupa.

Tapi ingatlah kawan. Semua manusia yang terlahir di bumi dibekali kamampuan yang sama. Setuju? Okelah, setidaknya persis. Dan hanya orang-orang super yang mampu memenej segala sesuatu dalam dirinya-lah, yang pantas menyandang predikat menusia plus-plus. Manusia di atas rata-rata. Luar biasa!
Mau?

Penulis adalah asli orang Blitar. Lahir dan didewasakan di Blitar. Kini sedang menyelesaikan kuliahnya di sebuah Universitas swasta di Blitar jurusan Ilmu komunikasi. Bisa dihubungi di E-mail / face book : bening_firdaus@yahoo.com

sumber gambar : http://1.bp.blogspot.com