Penulis, juga kerjaan Lo!


Menulis, menjadi seorang penulis, sama sekali tak terlintas di pikiran saya sejak kecil. Bahkan sejak saya bisa nulis "Ini Budi", ketika saya telah duduk di kelas nol besar!

Penulis bukanlah bagian dari deretan cita-cita mulia. Sangat tidak familiar di telinga mayoritas masyarakat kami, di kampungku (bahkan mungkin di seantero Indonesia juga?).

Kata-kata "penulis" terlalau asing. Lebih asing dari alien, si makhluk asing luar angkasa yang konon ada itu. Kenapa saya bilang begitu? Ya. Karena sejak dulu_semenjak saya TK hingga STM(sekarang SMK)_tak pernah sekalipun guru saya merekomendasikan bahwa Penulis adalah cita-cita juga. Pekerjaan yang bisa mengasilkan uang.

Bermacam cita-cita yang pernah terlontar dari mulut-mulut kami dulu (sewaktu TK), mulai dari guru, mantri sunat, dokter, pilot, astronot, polisi, sampai presiden_penulis tak pernah masuk hitungan. Mengutip kata-kata Arswendo, "Padahal itu boleh dan bisa sebagai salahsatu pilihan".

Namun akhirnya pemahamanku berubah, tentang penulis dan menulis itu sendiri. Tepatnya kapan, aku tak ingat persis. Tapi penyebabnya apa, sedikit-sedikit saya masih ingat.

Sekitar dua tahun lalu, setelah aku mendaftar sebagai anggota perpustakaan kota Blitar. Maklum, waktu itu saya masih terbilang baru jadi anak kuliahan. Lagi semangat-semangatnya belajar. Lagipula gengsi dong, masak anak kuliah ndak pernah baca buku. hehe,..

Bermula dari gengsi-gengsian jadi anggota perpustakaan itulah tanpa sengaja saya temukan sebuah buku bagus. Penulisnya bilang, "buku bergizi". Walaupun buku lama (terbitan tahun 2004), tapi isinya benar-benar baru bagi saya. Buku itu berjudul Andaikan Buku itu Sepotong Pizza. Penulisnya bernama Hernowo. Sebuah nama yang baru sekali saya dengar, ya dari buku itu.

Buku itu bagus, sangat bagus malah. Itu menurut saya. Isinya benar-benar berbobot, sangat bermutu. Tapi komohon, kalian jangan dulu salah sangka. Saya memuji buku itu bukan berarti saya staf marketingnya lo. Saya cuma pingin cerita pengalaman saya saja. Kalau baik silakan pakai, kalau menjerumuskan silakan ditinggal. Oke? Baiklah saya lanjutkan.

Buku itu bicara seputar : Cara membaca yang baik, benar, dan mengasikkan. Lho, cuma begitu dibilang bagus? Sebentar, jangan menyela. Baca saja dulu sampai tuntas.

Dijelaskan dalam buku itu, bahwa membaca buku tak jauh beda dengan menikmati makanan. Tepatnya pizza. Kita bisa dan boleh mulai membaca dari mana saja. Tidak harus dari awal, halaman pertama. Suka-suka saja lah. Pilih yang kelihatan bagus, lalu baca. Seperti kalau kita makan pizza, tak ada aturan kita mesti mulai makan dari sebelah mana. Bahkan sah-sah saja kalau kita makan dari tengah, atau mencukili isi pizza yang kelihatan paling enak.

Asiknya, kalau makan pizza tidak habis akan mibadzir & eman-eman, membaca buku tidak. Puluhan, ratusan, bahkan ribuan kali lebih dibaca, khasiat buku takkan ikut habis.Alias tetap utuh.

Nah, dari pak Hernowo pula, saya jadi tau tips sakaw membaca, keranjingan membaca. Kenapa saya bilang begitu? Karena setelah saya praktekkan sarannya, saya benar-benar kecanduan membaca.

Setiap ada waktu luang, saya selalu menyempatkan membaca. Apa saja. Walau cuma baca komik atau sobekan koran bekas bungkus cabe_dari belanja ibu. Uniknya, kalau sakaw narkoba terasa menyiksa, sakaw membaca nikmat tak terkata.

Dalam sehari, rugi rasanya kalau saya melewaktan aktifitas baca.Rasanya, seperti kurang sempurna hidup ini. *haiyah*

Bukan hanya itu. Ternyata lagi, pada tingkatan tertentu kecanduan membaca menyebabkan pula hasrat menulis. Dan itu terjadi secara otomatis!

Saya umpamakan dua aktifitas ini (baca-tulis)seperti siklus makan pada hewan bernama musang.

Pernahkah kalian mendengar kopi musang? Kopi yang dihasilkan musang.

Musang yang makan kopi secara terus-menerus akan secara lagsung mengeluarkan biji kopi melalui saluran pembuangan. Yang mengagumkan, terjadi simbiosis mutualisme antara musang dan pemiliknya. Musang dapat nutrisi dari kulit&buah kopi, bijinya dikonsumsi manusia sebagai kopi bercitarasa tinggi. Mahal harganya.

Begitu juga pikiran manusia yang begitu terbatas daya tampungnya, seperti pencernaan musang tadi. Jika memori ini terus terisi dengan asupan nutrisi, melalui membaca, pasti ia kebelet mengeluarkan apa yang telah ia cerna. Melalui tulisan. Ya menulis itu. Jika menulis itu dilakukan, maka kelaparan membaca justru akan semakin menjadi. Siklus seperti ini terulang terus-menerus.

Seperti juga si musang, pembaca yang mau menulis kelak juga akan menciptakan simbisosis mutualisme. Ia membaca dapat pengetahuan baru, sementara orang yang membaca tulisannya juga ketularan dapat ilmu.

Nah, dari sini lah lalu saya memberanikan diri jadi follower . Mencita-citakan pekerjaan yang, barangkali, tidak lazim untuk ukuran orang desa seperti saya. Sebuah profesi yang sewaktu kecil dulu saya tak pernah mendengarnya. Menjadi PENULIS!

Untuk seorang pemula, tulisan saya di atas bagus kan..Buktinya anda membacanya sampai tuntas!
hahaha,..
:D

Penulis adalah asli orang Blitar. Lahir dan didewasakan di Blitar. Kini sedang menyelesaikan kuliahnya di sebuah Universitas swasta di Blitar jurusan Ilmu komunikasi. Bisa dihubungi di E-mail / face book : bening_firdaus@yahoo.com

sumber gambar anak menulis : http://images.google.co.id

“MAAF” yang membingungkan

Sejak sebulan lalu saya kebelet pingin nulis, tentang apa saja asal menarik. Tapi sebelnya, semakin saya ngebet, semakin ide di kepala saya seolah mampet. Hingga akhirnya, ilham penulisan itu datang. Melalui seorang lumpuh yang tak sengaja saya lihat di jalan.

Waktu itu (kalau tidak salah) sepulang dari perpustakaan tanpa sengaja saya melihat orang lumpuh di pinggir jalan. Seorang bapak yang menaiki kendaraan orang lumpuh. Kelihatannya sih desain sendiri. Bisa dilihat dari bentuknya yang tidak lazim. Tidak seperti kursi roda kebanyakan, tapi lebih mirip becak. Sama-sama beroda tiga. Bedanya, dua roda berada di bagian belakang kendaraan, tepat di samping tempat duduk pengemudi. Sementara satu roda lainnya, justru berada di depan. Persis becak yang dipotong jadi dua bagian, depan dan belakang. Dan potongan bagian buritan disambungkan tepat di depan dudukan kemudi. Nah, di bagian roda depan ini terhubung dengan dengan pedal yang dikayuh dengan kedua tangan. Pedal itu pula yang merangkap fungsinya sebagai setir kemudi . Sepintas terkesan unik.

Ketika saya melihatnya, reflek, saya kendorkan gas motor saya. Penasaran. Bukan karena uniknya kendaraan yang saya lihat, bukan. Tapi saya penasaran, ingin melihat lebih dekat tulisan yang tertera di bagian kendaraan itu. Yang letaknya tepat di belakang sandaran tempat duduk pengemudinya.

Setelah begitu pelan laju motor saya, tulisan itu pun terbaca. Begini bunyinya : “MAAF. Cacat karena tsunami”

Sekilas mungkin biasa. Tapi coba perhatikan benar kata yang saya tulis dengan huruf kapital. Kata itu berbunyi “MAAF”. Gara-gara kata “maaf”, selama perjalanan pulang pikiran saya terusik. Kenapa mesti minta maaf? Memangnya cacat itu sebuah kesalahan? Atau karena ia merasa menghambat lalulintas, mengganggu kenyamanan pengguna jalan lain?

Kontan aku pun bereaksi, “Seharusnya bapak tidak perlu minta maaf! Bapak tidak bersalah! Coba bapak lihat pemuda-pemuda urakan itu. Mereka yang naik motor dengan bunyi knalpot yang meledak-ledak. Ngebut semaunya. Mereka tak pernah minta maaf. Juga sopir bus dan angkot yang suka nyalip lalu tiba-tiba ngerem ndadak itu. Mereka enjoy saja. Tak pernah merasa bersalah, apalagi inta maaf. Padahal banyak pengguna jalan lain yang protes dengan tingkah ugal-ugalan mereka. Kenapa justru bapak yang tidak bersalah mesti minta maaf?!” aku pun ngomel-ngomel. Dalam hati.

Lalu tibalah saya di ruas jalan yang dicegat sebuah papan peringatan bertuliskan : “Maaf, jembatan sedang dalam perbaikan”. Di sebelah papan tulisan, terpancang rambu dilarang masuk. Saya pun putar haluan mencari jalan lain. Tapi pikiran saya terlanjur nyangkut di papan peringatan itu. Lagi-lagi saya dibuat bingung dengan penggunaan kata “maaf”. Kenapa mesti minta maaf? Bukankah perbaikan jembatan itu demi kepentigan bersama? Se-begitu sensitif kah perasaan orang di negri ini? Sampai harus mencantumkan kata “maaf” demi menjaga agar tidak menciderai perasaan orang lain?

Kenapa tidak ditulis saja : “Jembatan sedang diperbaiki. Silakan lewat jalan lain”. Toh para pengguna jalan yang melihatnya sudah paham. Kecuali yang buta huruf. Hehehe,..

Saya jadi teringat tentang pengalaman saya yang lain. Masih berhubungan dengan kata “maaf”. Yaitu ketika saya menjahitkan celana di tukang jahit. Waktu itu mau lebaran.
Saya tanya ke tukang jahit, “Pak, kapan bisa diambil?”.
Dia jawab, “Seminggu lagi” dengan anggukan yang mantap dan pasti. Seminggu kemudian saya datang mengambil. Tapi alangkah kecewanya saya ketika si penjahit bilang, “Maaf belum jadi mas. Silahkan datang 3 hari lagi”. Apa boleh buat, saya pulang dengan sekepal rasa kecewa. Nah, yang bikin jengkel, setiap kali saya datang, setiap kali pula penjahit selalu memberi janji. Berbagai alasan yang keluar pun berganti-ganti. Yang banyak pesanan lah, yang pelanggan anu minta didahulukan lah, ini lah, itu lah. Sampai saya capek mendengarnya.

Uniknya, setiap janji yang dia berikan selalu diembel-embeli kata “maaf”. Dan lebih unik lagi, setiap kali penjahit bilang maaf, samasekali tak tersirat nada orang bersalah. Wajahnya tetap kalem dan tenang. Seperti wajah polos bayi baru belajar berjalan yang tak sengaja memecahkan vas ibunya. Raut mukanya tetap cool, padahal si ibu jengkel bukan main.

Dari beberapa kejadian yang pernah saya alami, saya pun dibuat bingung. Sebenarnya apa sih fungsi kata “maaf”? Dulu sewaktu saya masih SD, ibu selalu mengajarkan agar saya harus minta maaf bila berbuat kesalahan terhadap orang lain. Siapapun orang itu. Dan janji untuk tidak mengulang lagi kesalahan serupa. Waktu itu saya berkesimpulan, bahwa kata maaf digunakan sebagai penghapus kesalahan kita terhadap orang lain, agar orang yang kita salahi mau dengan sukarela mengikhlaskan perbuatan kita yang keliru. Pemahaman itulah yang saya pegang selama ini.

Namun beberapa kejadian yang saya temukan kemudian menggoyahkan pemahaman saya tentang penggunaan kata “maaf” sebelumnya.

Pertama, tentang si supir angkot dan bus yang suka seenak udelnya di jalanan itu. Banyak yang merasa jengkel dengan ulah mereka. Apakah itu bukan kesalahan? Kalau iya, buktinya sampai saat ini saya belum pernah sekalipun melihat mereka minta maaf kepada orang yang telah dibuat jengkel. Bukankah kalau salah mesti minta maaf?

Kedua, tentang kata “maaf” yang digunakan selagi jembatan dalam perbaikan. Saya menilai “maaf” dalam perbaikan itu bertujuan agar pengguna jalan tidak tersulut jengkel. Padahal jelas, memperbaiki jembatan bukan sebuah kesalahan. Baru kalau jembatan rusak hingga menelan korban itu baru salah. Petugas yang bertanggung jawab mengurusi jembatan itulah yang salah. Lalu apakah benar perasaan orang di negeri ini begitu halus? Saking halusnya, hanya karena takut perasaan orang lain terluka, kata “maaf” perlu di ucapkan. Padahal tidak melakukan kesalahan.

Ketiga, kata ‘maaf’ yang begitu lentur terucap dari mulut si penjahit tadi. Jelas dia bersalah karena melanggar janji. Anehnya, setelah dimaafkan, dengan santainya dia mengulang lagi kesalahan yang sama. Dari sini saya punya kesimpulan lain tentang fungsi kata “maaf”, yaitu untuk mengelak dari tanggung jawab. Buktinya, si penjahit tadi ditagih jahitan, kata “maaf” lah yang buru-buru di sodorkan . Bukan jahitan celana saya yang sejak lama saya butuhkan. Apakah itu namanya sikap yang bertanggung jawab?

Kawan, jujur saja. Sampai tulisan ini diposting, saya masih bingung. Sebenarnya kata “maaf” itu fungsinya untuk apa sih?
:D

Penulis adalah asli orang Blitar. Lahir dan didewasakan di Blitar. Kini sedang menyelesaikan kuliahnya di sebuah Universitas swasta di Blitar jurusan Ilmu komunikasi. Bisa dihubungi di E-mail / face book : bening_firdaus@yahoo.com

sumber gambar : http://ferdinandolase.files.wordpress.com